BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW dan disampaikan kepada umat manusia. Sumber hukum Islam itu sendiri adalah
dari al-Quran dan Sunnah Muhammad SAW yang juga merupakan pedoman bertingkah
laku agar memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Islam adalah sebuah agama yang dikenal dengan adanya praktik ritual. Akan
tetapi, ritual dalam agama Islam mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri.
Ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang
tegas dan eksplisit dalam al-Quran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki
dalil, baik dalam al-Quran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk
pertama adalah salat; sedangkan contoh ritual kedua adalah tahlil yang
dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah
haji.
Adapun selain ritual, agama Islam juga mempunyai institusi yang berkaitan
erat dengan kehidupan umat Islam. Ritual dan institusi dapat dihubungkan melaui
tujuan-tujuannya, yaitu adanya tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan
objek yang suci (Tuhan) dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan
rasa aman melalui pelaksanaan ritual. Sedangkan institusi merupakan kegiatan
untuk memenuhi segala kebutuhan pokok manusia,
baik bersifat keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
RITUAL DAN INSTITUSI
Pembahasan tentang tema ini dibagi menjadi dua bagian: ritual dan
institusi Islam. Bagian pertama terdiri atas dua bagian, yaitu ritual dalam
perspektif sosiologi; dan ritual Islam. Bagian kedua terdiri atas tiga bagian,
yaitu institusi, fungsi dan unsur institusi, dan institusi Islam.
A.
RITUAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang
hal yang sakral.[1] Salah
satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan.
Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku
dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan
rasa aman dan kuat mental. (Djamari, 1993: 35)
Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi
oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh
karena itu, ritual didefinisikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat,
dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari,
baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan
ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keberkahan, karena percaya akan
hadirnya sesuatu yang sakral. Sedangkan perilaku profan dilakukan secara bebas.
(Djamari, 1993: 36).
Dalam analisis Djamari (1993: 36), ritual ditinjau dari dua segi: tujuan
(makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada
Tuhan; ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan
keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan
yang dilakukan.
Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan
kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang
dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa,
dan yoga. Ada
pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat
berjamaah, dan haji.
George Homans (Djamari, 1993: 38) menunjukkan hubungan antara ritual dan
kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi
tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi: kecemasan yang bersifat
"sangat", yang ia sebut kecemasan primer; dan kecemasan yang biasa,
yang ia sebut kecemasan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual
primer; dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia
mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan
- meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan - dan ritual
sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau
kekurangan dalam ritual primer.
Berbeda dengan Romans, C. Anthony Wallace (Djamari, 1993: 39) meninjau
ritual dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut:
- Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatan pertanian dan perburuan.
- Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
- Ritual sebagai ideologis - mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana perasaan hati, nilai, sentimen, dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya, upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap status, hak, dan tanggung jawab yang baru.
- Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang baru; ia berhubungan dengan kosmos yang juga mempengaruhi hubungan dengan dunia profan.
- Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali). Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertujuan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.
Demikianlah ritual dalam perspektif sosiologi. Meskipun, pada bagian
tertentu, kita kurang setuju, misalnya, dengan munculnya anggapan bahwa umat
Islam memuja Hajar Aswad (lihat Elizabeth K. Nottingham, 1993: 10), karena
mereka melihatnya dari sudut formal (yang terlihat), bukan dari sudut ajaran.
B.
RITUAL ISLAM
Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang
mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam al-Quran dan Sunnah; dan ritual
yang tidak memiliki dalil, baik dalam al-Quran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh
ritual bentuk pertama adalah salat; sedangkan contoh ritual kedua adalah marhabaan,
peringatan hari (bulan) kelahiran Nabi Muhammad Saw (muludan, Sunda),
dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya
menunaikan ibadah haji.
Contohnya: Di Desa Bojong Kulur, Gunung Putri, Bogor, terdapat sebuah tradisi tahlil haji,
yaitu tahlil yang dilakukan pada hari keberangkatan anggota keluarga ke
Mekah. Apabila seseorang berangkat dari rumah pada hari Sabtu, tahlil
diselenggarakan pada setiap hari Sabtu (biasanya dilakukan setelah salat
magrib) sampai yang melakukan ibadah haji kembali ke rumah.
Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditinjau dari sudut
tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga:
primer, sekunder, dan tertier.
Dari sudut mukalaf, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang
diwajibkan kepada setiap orang, dan ritual yang wajib kepada setiap individu
tetapi pelaksanaannya dapat diwakili oleh sebagian orang.
Dari segi tujuan, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu
ritual yang bertujuan mendapatkan ridha Allah semata dan balasan yang ingin
dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi; dan ritual yang bertujuan mendapatkan
balasan di dunia ini, misalnya salat istisqa, yang dilaksanakan untuk
memohon kepada Allah agar berkenan menakdirkan turun hujan.
Dengan meminjam pembagian ritual menurut sosiolog (yang dalam tulisan ini
diambil dari Romans), ritual dalam Islam juga dapat dibagi menjadi dua: ritual
primer dan ritual sekunder.
Ritual primer adalah ritual yang merupakan kewajiban sebagai pemeluk
Islam. Umpamanya, kewajiban melakukan salat Jumat bagi Muslim laki-laki. Di
sebagian masyarakat Indonesia,
terdapat kebiasaan salat i'adah, yaitu salat zuhur yang dilakukan secara
berjamaah setelah salat Jumat.
Dalam salah satu diskusi terungkap mengenai alasan pelaksanaan i'adah
itu. Di antara alasan yang dikemukakan adalah bahwa dalam salat Jumat terdapat
banyak syarat yang secara rinci[2] telah
dimuat dalam kitab-kitab fikih, di antaranya harus muqim (penduduk
setempat) dan jumlahnya 40 orang. Menurut kiai, meskipun jumlah jamaah diyakini
lebih dari empat puluh orang, tidak dapat diketahui secara pasti apakah mereka
itu penduduk setempat atau musafir. Oleh karena itu, jalan aman yang ditempuh
adalah salat Zuhur setelah salat Jumat untuk menutupi kemungkinan tidak
terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat penyelenggaraan salat Jumat. Dalam
kasus itu, salat Jumat berkedudukan sebagai ritual primer; dan salat Zuhur (i'adah)
berkedudukan sebagai ritual sekunder.
Demikian ritual Islam dikaji dari beberapa aspek atau segi. Kajian
tersebut pada dasarnya dapat dilakukan secara bervariasi sehingga tidak mungkin
menutup perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu,
penempatan satu ritual pada posisi tertentu bisa berbeda-beda, karena ajaran dasar
agama kita tidak menyebutnya secara eksplisit.
Unsur-unsur
Ritual dalam Islam
Istilah fundamental untuk ritual Islam adalah "ibadah",
penghambaan dari yang lebih rendah kepada yang maha agung, Tuhan. Semua
kewajiban resmi dalam Islam terangkum dalam ibadah: Lima rukun menjadi kategori utama ritual
Islam dan peristiwa-persitiwa yang lebih kurang tersusun di bawahnya dalam
bentuk yang teratur. Misalnya, Idul Qurban berakar dalam ibadah haji. Idul
Fitri berperan sebagai penutup puasa Ramadhan. Salat khusus pada saat terjadi
gerhana atau bencana alam bervariasi berdasarkan standar yang ditetapkan.
Semuanya itu dilakukan secara teratur. Empat dari lima rukun mempunyai rujukan
komunal dan dibuat untuk mengekspresikan dan menyalurkan kekuatan rukun pertama
syahadat yang secara implisit mengandung gambaran iman Muslim yang sempurna,
dengan mana menyatakan keyakinan pada Tuhan, malaikat, nabi dan kitab sucinya,
hari akhir dan takdir. Dua dari rukun ini juga mempunyai rujukan tempat yang
kuat karena salat dan haji dipusatkan pada Ka'bah di Mekkah. Salat, shaum,
dan haji juga mempunyai waktu sehingga kita mempunyai serangkaian ritual yang
berkaitan dengan ruang dan waktu suci. Semua itu memiliki status yang tidak
sama. Islam juga mengenal barang haram secara hakiki dan bukan karena
lingkungan (seperti bangkai, babi, anjmg), sementara yang lainnya diharamkan
hanya karena bersentuhan dengan yang haram. Jadi, dalam Islam kita mengenal
adanya pemisahan atau suatu sistem pemisahan yang didasarkan tidak sekedar pada
ruang dan waktu, tetapi juga kesucian dan keharaman.[3]
Menuju
Analisis tentang Ritual dan Islam
Dengan munculnya Islam dalam sejarah dunia, cara hidup Arab jahiliyah
telah ditinggalkan. Era baru telah dimulai dan titik nol diawali oleh hijrah
Muhammad dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah. Kalender baru disusun
tanpa interkalasi, terlepas tidak hanya dari tahun Arab kuno, tetapi khususnya
seluruh penanggalan matahari yang secara tradisional berhubungan dengan
struktur masyarakat dan agama agraris.
Ruang suci dalam Islam berbeda dengan ruang suci dalam tradisi-tradisi
lain, khususnya agama-agama kuno yang berorientasi agraris di Timur Dekat Kuno.
Theodore Gaster menjelaskan dalam Thespis sebuah fenomena yang ia sebut topocosme,
suatu hubungan antar individu yang kompleks dengan kosmologi yang menyeluruh.
Komponen utama pola musim adalah ritual yang dibagi menjadi dua kategori, ritus
kenosis, pengosongan, dan ritus plerosis, pengisian.
"Yang pertama menggambarkan dan menyimbolkan pudarnya kehidupan dan
vitalitas pada akhir setiap kesempatan (yakni pada bumi dan kekuatan
reproduksinya) dan ditunjukan oleh periode lenten, puasa, ketegangan, dan
ekspresi-ekspresi keaiban lainnya atau mati suri. Yang terakhir menggambarkan
dan menyimbolkan revitalisasi yang terjadi pada permulaan kesempatan baru dan
ditunjukkan oleh ritu-ritus perkawinan massal, upacara penebusan dosa dan
bahaya (baik fisik maupun moral) dan prosedur magis yang ditujukan untuk
membangkitkan kesuburan, relume matahari, dan seterusnya".[4]
C.
INSTITUSI
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua istilah yang mengacu kepada pengertian
institusi (lembaga), yaitu insntitute dan institution. Istilah
pertama menekankan kepada pengertian institusi sebagai sarana atau organisasi
untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan pada
pengertian institusi sebagai suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.
(Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995: 1)
Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan pengalihbahasaan dari istilah
Inggris, social institution. Akan tetapi, Soerjono Soekanto (1987: 177)
menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia
yang khas dan tepat untuk menjelaskan istilah Inggris tersebut. Ada yang mengatakan bahwa
padanan yang tepat untuk istilah itu adalah pranata sosial yang di dalamnya
terdapat unsur-unsur yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata
sosial, seperti dituturkan oleh Koentjaraningrat (1980: 179), adalah suatu
sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas
manusia untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka dalam masyarakat. Dengan
demikian, menurut beliau, lembaga kemasyarakatan adalah sistem tata kelakuan
atau norma untuk memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa arti
social institution adalah bangunan sosial. la merupakan padanan dari
istilah Jerman, yaitu siziale gebilde. Terjemahan ini nampak jelas
menggambarkan bentuk dan struktur social institution.
Pengertian-pengertian social institution yang lain yang dikutip
oleh Soerjono Soekanto, (1987: 179) adalah sebagai berikut.
Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, social
institution ialah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk
mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.
Howard Becker mengartikan social institution
dari sudut fungsinya. Menurutnya, ia merupakan jaringan dari proses hubungan
antarmanusia dan antarkelompok manusia yang berfungsi meraih dan memelihara
kebutuhan hidup mereka.
Sumner melihat social institution dari sisi
kebudayaan. Menurut dia, social institution ialah perbuatan, cita-cita,
sikap, dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang bertujuan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Dari paparan singkat mengenai pengertian institusi, dapat disimpulkan
bahwa institusi mempunyai dua pengertian: pertama, sistem norma yang
mengandung arti pranata; dan kedua, bangunan. Menurut Sumner,
sebagaimana dikutip oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 67), an
institution consists of a concept idea, notion, doctrin, interest and a
structure (suatu institusi terdiri atas konsep tentang cita-cita, minat,
doktrin, kebutuhan, dan struktur).
Sebagai sebuah norma, institusi itu bersifat mengikat. la merupakan
aturan yang mengatur warga kelompok di masyarakat. Di samping itu, ia pun
merupakan pedoman dan tolok ukur untuk menilai dan memperbandingkan dengan
sesuatu.
Norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, berubah sesuai
keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah, umpamanya, kelompok norma
kekerabatan yang
menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang melahirkan institusi pendidikan; kelompok norma hukum melahirkan institusi hukum,
seperti peradilan; dan kelompok norma agama yang melahirkan institusi keagamaan.
menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang melahirkan institusi pendidikan; kelompok norma hukum melahirkan institusi hukum,
seperti peradilan; dan kelompok norma agama yang melahirkan institusi keagamaan.
Dilihat dari daya yang mengikatnya, secara sosiologis norma-norma
tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan cara (usage);
kedua, kebiasaan (folkways); ketiga, tata kelakuan (mores);
dan keempat, adat istiadat (custom).
Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara
berulang-ulang. Kekuatan mengikat norma usage adalah paling lemah
dibandingkan ketiga tingkatan norma lainnya.
Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk
yang sama; menggambarkan bahwa perbuatan itu disenangi banyak orang. Daya ikat
norma ini lebih kuat daripada norma usage, contohnya memberi hormat
kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada yang lebih tua dianggap
sebagai suatu penyimpangan. Menurut Mac Iver dan Page, kebiasaan merupakan
perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat.
Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagai cara berperilaku, bahkan
dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasaan meningkat menjadi
tahapan mores. la merupakan alat pengawas bagi perilaku masyarakat yang
daya ikatnya lebih kuat daripada folkways dan usage.
Norma tata kelakuan (mores) yang terus-menerus dilakukan sehingga
integrasinya menjadi sangat kuat dengan pola-pola, perilaku masyarakat, daya
ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ke tahapan custom. Dengan
demikian, warga masyarakat yang melanggar custom akan menderita karena
mendapat sanksi yang keras dari masyarakat. (Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi, 1964: 61-2)
D.
FUNGSI DAN UNSUR-UNSUR INSTTTUSI
Secara urnum, tujuan institusi itu adalah memenuhi segala kebutuhan pokok
manusia, seperti kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan
budaya. Adapun fungsi institusi secara lebih rinci adalah sebagai berikut:
- Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian sosial berdasarkan sistem tertentu, yaitu sistem pengawasan tingkah laku.
- Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat.
- Memberikan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Berdasarkan fungsi-fungsi institusi yang diungkapkan di atas, seorang
peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian tingkah laku suatu masyarakat
selayaknya memperhatikan secara cermat institusi-institusi yang ada di
masyarakat bersangkutan.
Menurut Mac Iver dan Charles H. Page, dalam bukunya yang berjudul Society:
an Introductory Analysis yang ditulis dan disadur oleh Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 78), elemen institusi itu ada tiga:
pertama, association; kedua, characteristic institutions; dan
ketiga, special interest.
Association merupakan wujud konkret dari institusi. la bukan sistem
nilai tetapi merupakan bangunan dari sistem nilai. la adalah kelompok-kelompok
kemasyarakatan. Sebagai contoh, institut atau universitas merupakan institusi
kemasyarakatan, sedangkan Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Institut
Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Padjadjaran, Universitas
Airlangga adalah association.
Characteristic institution adalah sistem nilai atau norma tertentu yang
dipergunakan oleh suatu association. la dijadikan landasan dan tolok
ukur berperilaku oleh masyarakat asosiasi yang bersangkutan. Tata perilaku
dalam characteristic institution mempunyai daya ikat yang kuat dan
sanksi yang jelas bagi setiap jenis pelanggaran.
Special interest adalah kebutuhan atau tujuan tertentu, baik kebutuhan yang
bersifat pribadi maupun asosiasi.
Sebagai sebuah gambaran ringkas, kita lihat contoh berikut ini: Keluarga
merupakan asosiasi yang di dalamnya terdiri atas beberapa anggota keluarga. Para anggota keluarga terikat oleh aturan-aturan yang
telah sama-sama disepakati. Aturan-aturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
E.
INSTITUSI lSLAM
Sistem norma dalam agama Islam bersumber dari firman Allah Swt dan Sunnah
Nabi Muhammad Saw. la merupakan pedoman bertingkah laku masyarakat Muslim agar
mereka memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Daya ikat norma dalam Islam tercermin dalam bentuk mubah, mandub,
wujub, makruh dan haram. Dalam terminologi ilmu Ushul Fikh,
mubah tidak mempunyai daya ikat sehingga perilaku mubah tidak mendapat sanksi.
Mandub mempunyai daya ikat yang agak kuat sehingga seseorang yang mengerjakan
perilaku dalam kategori ini akan mendapat pahala. Wujub adalah perilaku yang harus
dilakukan sehingga seseorang yang mengerjakan perilaku wujub akan mendapat
pahala sedangkan yang melanggar akan mendapat sanksi.
Makruh adalah tingkat norma yang memberikan sanksi kepada yang
melanggarnya; dan yang tidak melanggar tidak diberi pahala. Adapun haram adalah
norma yang memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelanggar.
Institusi adalah sistem nilai dan norma. Adapun norma Islam terdapat
dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Norma akidah tercermin dalam rukun
iman yang enam. Norma ibadah tercermin dalam bersuci (thaharah), salat,
zakat, puasa (shaum), dan haji. Norma muamalah tercermin dalam hukum
perdagangan, perserikatan, bank, asuransi, nikah, waris, perceraian, hukum
pi-dana, dan politik. Adapun norma akhlak tercermin dalam akhlak terhadap Allah
Swt dan akhlak terhadap makhluk.
Norma-norma dalam Islam yang merupakan characteristic institution,
seperti yang disebutkan di atas kemudian melahirkan kelompok-kelompok asosiasi
(association) tertentu yang merupakan bangunan atau wujud konkret dari
norma. Pembentukan asosiasi dengan landasan norma oleh masyarakat Muslim merupakan
upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga mereka bisa hidup dengan aman
dan tenteram serta bahagia di dunia dan akhirat; karena institusi di dalam
Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, dan sengaja
diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam.
Dari paparan singkat di atas, dapat dikemukan beberapa contoh institusi
dalam Islam yang ada di Indonesia, seperti institusi perkawinan diasosiasikan
melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agamanya, dengan tujuan agar
perkawinan dan perceraian dapat dilakukan secara tertib untuk melindungi hak
keluarga, terutama perempuan; institusi pendidikan yang diasosiasikan dalam
bentuk pesantren dan madrasah; institusi ekonomi yang diasosiasikan menjadi
Bank Mu'amalah Indonesia (BMI), Baitul Mal Watamwil (BMT); institusi zakat yang
diasosiasikan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS); dan
institusi dakwah yang diasosiasikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Semua
institusi yang ada di Indonesia
itu bertujuan memenuhi segala kebutuhan masyarakat Muslim, baik kebutuhan fisik
maupun nonfisik.
Di samping itu, ada juga institusi politik yang diasosiasikan menjadi
partai politik yang berasaskan Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Umat Islam (PUI).[5]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Ritual dan Institusi Islam dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
Bagian
pertama :
a.
ritual dalam persfektip sosiologi, dan
b.
ritual Islam
Bagian kedua
:
- institusi
- fungsi dan unsur institusi
- institusi Islam
Tujuan ritual yaitu pemeliharaan dan pelestarian kesakralan, dan ritual
merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan
memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental.
Institusi dapat disimpulkan menjadi dua pengertian: pertama,
sistem norma yang mengandung arti pranata; dan yang kedua, bangunan.
Tujuan institusi adalah memenuhi segala kebutuhan pokok manusia, seperti
kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Adapun
fungsinya antara lain:
- Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian sosial berdasarkan sistem tertentu, yaitu sistem pengawasan tingkah laku.
- Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat
- Memberikan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
-
Martin, Ricard C. 2001. Pendekatan Kajian Islam
dalam Studi Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
-
Hakim, Atang Abd. 2006. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
[1]
Ajaran tentang yang sakral dengan yang profan (the sacred and the secular or
the profane) dapat dibaca pada Bab 1 buku ini.
[2] Drs.
Atang Abdul Hakim, M.A. Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. h.
127-129
[3]
Ricard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2001. h. 92-93
[4] Ibid.,
h. 95, 97
[5] Metodologi
Studi Islam, op.cit., h. 130-136
No comments:
Post a Comment