KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين الصلاة والسلام
على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT
yang masih memberikan kepada kita berupa kesehatan jasmaniah dan rohaniyah serta
masih memberikan kita iman dan ihsan. Shalawat dan salam kita panjatkan
keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW yang membawa kita semua dari alam kegelapan
kepada alam yang terang benderang, dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh
dengan hikmah.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam terlaksananya makalah dari hasil
diskusi ini terutama kepada Ibu Dosen selaku pembimbing mata kuliah “Sejarah
Peradaban Islam” yang tidak henti-hentinya memberikan kami motivasi dalam
pembuatan makalah ini, dan kepada teman-teman yang juga turut membantu dalam
penyelesaian makalah ini baik itu berupa tenaga maupun pikiran yang menurut
kami sangat membantu dalam penyelasaian makalah ini.
Kami menyadari masih banyak kekurangan
yang terdapat dalam makalah ini yang tidak bisa kami selesaikan tanpa bantuan
para pembaca sekalian. Oleh karena itu, kami memohonkan saran dan kritik yang
membangun guna menyempurnakan isi dari makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kami maupun bagi kawan-kawan yang membacanya. Amien!!!
Banjarmasin,
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 2
- Perkembangan Islam di Masa Bani Umayyah 2
- Tokoh-tokoh Bani Umayyah 3
- Kejayaan dan Kemunduran 11
- Keruntuhan Dinasti Umayyah dan Hikmahnya 15
BAB III PENUTUP 17
Simpulan 17
DAFTAR PUSTAKA 18
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Keberhasilan Muawiyah mencapai ambisi
mendirikan kekuasaan dinasti Umayyah disebabkan di dalam diri Muawiyah terkumpul
sifat-sifat penguasa, politikus dan adiministratur. Ia pandai bergaul dengan
berbagai temperamen manusia, sehingga ia dapat mengakumulasikan berbagai
kecakapan tokoh-tokoh pendukungnya, bahkan bekas lawan politiknya sekalipun.
Berdirinya pemerintahan dinasti Umayyah
tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun peristiwa tersebut mengandung
banyak implikasi, diantaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan
berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan
umat Islam.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang
menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokaratis
berubah menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun temurun).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Islam
di Masa Bani Umayyah
Daulat Bani
Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin Umayyah pada tahun
41 H.
Berdirinya daulah ini, karena Muawiyah
tidak mau meyakini kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Sehingga pada waktu itu
terjadi perang saudara di antara umat Islam yaitu anatar pasukan Ali melawan
pasukan Muawiyah. Dalam pertempuran yang sengit itu banyak mengorbankan jiwa
kaum muslimin, hingga pada akhirnya diadakan perundingan.
Dalam perundingan itu Ali mengutus Abu
Musa Al-Asy’ari seorang ahli hukum, zakelyk dan jujur. Sedang Muawiyah mengutus
Amr bin Ash, seorang diplomat yang ulung, cerdik dan pandai mengatur siasat.
Dari perundingan tersebut keduanya memutuskan akan menurunkan Ali serta
Muawiyah dari kekhalifahan, dan untuk selanjutnya khalifah akan diangkat oleh kaum
muslimin.
Atas kelicikan Amr bin Ash, maka Abu Musa
dipersilahkan terlebih dahulu untuk mengumumkan penurunan Ali dari jabatannya
sebagai khalifah, dengan alasan karena Abu Musa lebih tua usianya dari Amr bin
Ash, maka sudah sepantasnyalah diberi kesempatan yang pertama.
Sesudah Abu Musa mengumumkan penurunannya
Ali sebagai khalifah di hadapan kaum muslimin, naiklah Amr bin Ash, dan
berkata: “Wahai kaum muslimin tadi barulah kita dengar bersama pernyataan dari
Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa beliau pada hari ini telah menurunlkan Ali bin Abi
Thalib dari jabatannya sebagai khalifah. Dengan kekosongan khalifah itu, maka
pada hari ini saya mengangkat Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai khalifah”.
Sejak itulah Muawiyah menjadi khalifah
kaum muslimin secara resmi, meskipun diperoleh dengan tidak wajar dan sekaligus
menyimpang dari ajaran Islam.[1]
Sejak berdirinya pemerintahan Bani Umayah
pada tahun 661 M dimulai pula tradisi baru dalam sistem pemerintahan Islam.
Sistem pemilihan secara demokratis yang dikembangkan selama masa kekhalifahan
ar-Rasyidin telah tidak dikenal lagi dalam proses pemilihan khlaifah. Proses
pergantian khalifah untuk seterusnya dilakukan mengikuti sistem turun-temurun.
Dalam literatur Islam sistem itu dikenal sebagai Daulah Islamiyah, yang berarti
kekuasaan Islam yang berciri kedinastian atau ashobiyah.
Dalam pada itu pemerintahan Islam yang
ditegakkan dengan cara perebutan kekuasaan oleh Muawiyah terhadap Khalifah Ali
yang sah, harus tetap waspada terhadap setiap pengkritik. Oleh karenanya selalu
menaruh kecurigaan terhadap kemungkinan terjadinya intrik istana maupun gerakan
perlawanan terhadap khalifah. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau Bani
Umayyah menjadi sangat kuat, sehingga berhasil menegakkan kekhalifahan Bani Umayyah
selama 90 tahun. Selama itu pula telah memerintah 14 orang khalifah, sebagai
berikut:
1.
Khalifah Muawiyah bin Abu
Sufyan (661-689 M)
2.
Khalifah Yazid I (680-683
M)
3.
Khalifah Muawiyah II
(683-684 M)
4.
Khalifah Marwan I bin
al-Hakam (684-685 M)
5.
Khalifah Abdul Malik
(685-705 M)
6.
Khalifah Al-Walid (705-715
M)
7.
Khalifah Sulaiman (715-717
M)
8.
KhalifahUmar bin Abdul Aziz
(717-720 M)
9.
Khalifah Yazid II (720-724
M)
10.
Khalifah Hisyam (724-743 M)
11.
Khalifah Al-Walid II
(743-744 M)
12.
Khalifah Yazid III dan
Ibrahim (744-744 M)
13.
Khalifah Marwan II bin Muhammad
(744-750 M)[2]
B.
Tokoh-Tokoh Bani
Umayah
. Empat orang
khalifah memegamg kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu Muawiyah, Abdul Malik,
al-Walid I, dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah
dalam jangka waktu 20 tahun saja. Para pencatat
sejarah umumnya sependapat bahwa khalihah-khalifah terbesar mereka ialah:
Muawiyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.
Muawiyah
adalah bapak pendiri dinasti Umayah. Dialah pembangun besar. Namanya
disejajarkan dalam deretan Khulafa ar-Rasyidin. Bahkan kesalahannya yang
mengkhianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat, dapat dilupakan orang
karena jasa-jasa dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan. Muawiyah
mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib berdamai dengannya
pada tahun 41 H. Umat Islam sebagiannya membaiat Hasan setelah ayahnya itu
wafat. Namun Hasan menyadari kelemahannya sehingga ia berdamai dan menyerahkan
kepemimpinan umat kepada Muawiyah sehingga tahun itu dinamakan ‘amul jama’ah,
tahun persatuan. Muawiyah menerima kekhalifahan di Kufah dengan syarat-syarat
yang diajukan oleh Hasan, yakni:
- Agar Muawiyah tiada menaruh dendam terhadap seorang pun penduduk Irak.
- Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
- Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
- Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya, Husain, 2 juta dirham.
- Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdis Syams.
Muawiyah dibaiat oleh umat Islam di Kufah
sedangkan Hasan dan Husain dikembalikan ke Madinah. Hasan wafat di kota Nabi itu tahun 50 H.
diantara jasa-jasa Muawiyah ialah mengadakan dinas pos kilat dengan menggunakan
kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. ia juga berjasa mendirikan Kantor Cap
(percetakan mata uang), dan lain-lain.[3]
Miawiyah bin Abi Sufyan dapat menduduki
kursi khalifah dengan berbagai cara dan tiga, yaitu dengan ketajaman mata
pedangnya, dengan siasatnya yang halus dan dengan tipu muslihatnya yang amat
licin. Bukanlah ia mendapat pangkat yang mulia itu dengan ijma’ dan persetujuan
umat Islam, melainkan karena licinnya jua.
Dengan kenaikan Muawiyah, berakhirlah
hukum syura, pilihan menurut hasil permusyawaratan yang terbanyak, yang berlaku
di zaman al-Khulafaur Rasyidin, yaitu hukum yang menyerupai aturan pemerintahan
Republik (Jumhuriyah) di zaman kita ini. Dan pangkat khalifah menjadi pusaka
turun-temurun, maka daulat Islampun telah berubah sifatnya menjadi daulat yang
bersifat kerajaan (monarchie).
Sesungguhnya Muawiyah telah amat
terpengaruh oleh peraturan-peraturan peninggalan orang Romawi di negeri Syam,
yakni di negeri tempat ia memerintah.
Kemegahan dan kemuliaan raja-raja yang
belum pernah ditiru oleh khalifah-khalifah yang terdahulu daripadanya, telah
diteladan dan dipakainya. Dia telah memakai singggasana dan kursi kerajaan
serta mengadakan barisan pengawal yang senantiasa menjaga dirinya siang malam. Bahkan
dalam mesjidpun dibuatnya suatu kamar istimewa, tempat dia sembahyang sorang
diri, dijaga oleh pengawalnya dengan pedang tercabut. Hal ini dilakukannya
karena ia takut kalau-kalau terjadi pula atas dirinya apa yang telah terjadi
atas diri Ali bin Abi Thalib.[4]
Muawiyah wafat tahun 60 H. di Damaskus
karena sakit dan digantikan oleh anaknya, Yazid yang telah ditetapkannya
sebagai putra mahkota sebelumnya. Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah,
banyak tantangan yang yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan
pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husain sepeninggal Muawiyah. Terjadi
perang di Karbala
yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu nabi SAW itu. Yazid menghadapi para
pemberontak di Mekkah dan Madinah dengan keras. Dinding Ka’bah runtuh
dikarenakan terkena lemparan manjaniq, alat pelempar batu kearah lawan.
Peristiwa tersebut merupakan aib besar pada masanya.
Penduduk Madinah memberontak terhadap Yazid
dan memecatnya untuk kemudian mengangkat Abdullah ibn Hanzalah dari kaum Anshar.
Mereka juga memenjarakan kaum Umaiyah di Madinah dan mengusirnya dari kota suci
kedua bagi umat Islam itu, sehingga terjadilah bentrok pisik antara pasukan
yang dikirim oleh Yazid yang dipimpin oleh Muslim ibn Uqbah al-Murri, dan
penduduk Madinah. Peperangan antara kedua pasukan itu terjadi di al-Harrah yang
dimenangkan oleh pasukan Yazid, pada tahun 63 H. sedangkan kaum Quraisy
mengangkat Abdullah ibn Muti’ sebagai pemimpin mereka tanpa pengkuan terhadap
kepemimpinan Yazid.
Penduduk Makkah lain lagi keadaannya,
sebagian dari mereka membaiat Abdullah ibn Zubair sebagai khalifah. Maka,
pasukan Yazid yang telah menundukkan Madinah meneruskan perjalanannya ke Makkah
untuk menguasainya. Abdullah ibn Zubair selamat dari gempuran pasukan Yazid
karena ada berita bahwa Yazid mangkat sehingga ditariklah pasukannya ke Suriah.
Tetapi kota Mekkah
menjadi porak poranda akhir perlakuan pasukan Yazid tersebut. Yazid meninggal
tahun 64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Muawiyah II.[5]
Sebelum Yazid meniggal dunia dia telah
berwasiat supaya putranya Muawiyah diangkat menggantikan dia menjadi khalifah,
menurut cara yang telah dilakukan oleh ayahandanya Muawiyah bin Abi Sufyan.
Akan tetapi Muawiyah II bin Yazid ini
hanya memerintah 40 hari saja lamanya. Oleh karena dia berpenyakitan dan
jiwanya sendiri memberontak, tidak dapat menanggung jawab atas
perobahan-perobahan dan kerusakan-kerusakan yang ditinggalkan ayahnya. Maka
turunlah dia dengan kemauan sendiri dari singgasana khilafat dan pangkat
khalifah itupun diserahkannya kepada permusyawaratan umat Islam, agar mereka
dengan merdeka memilih dan mengangkat siapa yang mereka kehendaki. Tetapi
cita-citanya itu tidak dapat berlaku, sebab pemilihan khalifah telah ditentukam
oleh kemauan Bani Umayyah.[6]
Muawiyah diganti oleh Marwan ibn Hakam,
seorang yang memegang stempel khilafah pada masa Utsman ibn Affan. Ia adalah
Gubernur Madinah dimasa Muawiyah dan penasehat Yazid di Damaskus dimasa
pemerintahan putra pendiri Daulah Umayyah itu. Ketika Muawiyah II wafat dan
tidak menunjuk siapa penggantinya, maka keluarga besar Muawiyah mengangkatnya
sebagai khalifah. Ia dianggap orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena
pengalamannya, sedangkan orang lain yang pantas memegang jabatan khilafah itu
tidak didapatkannya. Padahal keadaan begitu rawan dengan perpecahan di tubuh
bangsa Arab sendiri dan ditambah dengan pemberontakan kaum Khawarij dan Syi’ah
yang bertubi-tubi. Khalifah yang baru itu menghadapi segala kesulitan satu demi
satu. Ia dapat mengalahkan kabilah ad-Dahhak ibn Qais. Kemudian menduduki
Mesir, dan menetapkan putranya, Abdul Aziz sebagai Gubernurnya. Abdul Aziz
adalah ayah Umar, seorang khalifah Bani Umayyah yang masyhur itu. Marwan
menundukkan Palestina, Hijaz, dan Irak. Namun ia cepat pergi, hanya sempat
memerintah 1 tahun saja, ia wafat tahun 65 H dan menunjuk anaknya, Abdul Malik
dan Abdul Aziz sebgai pengganti sepeniggalnya secara berurutan.
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua
yang terbesar dalam deretan para khlaifah Bani Umayyah yang disebut-sebut
sebgai ‘Pendiri Kedua’ bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang
khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqih. Dia telah berhasil
mengembalikan sepenuhnya intregitas wilayah dan wibawa dan kekuasaan keluarga
Umayyah dari sagala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya.
Mulai dari gerakan separatis Abdullah ibn Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah
dan Khawarij sampai kepada aksi teror yang dilakukan oleh Mukhtar ibn Ubaidah
as-Saqafy di wilayah Kufah, dan pemberontakan yang dipimpin oleh Mus’ab ibn
Zubair di Irak. Ia juga menundukkan tentara Romawi yang sengaja membuat
kegoncangan sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia memerintahkan pemakaian bahasa
Arab sebagai bahasa administrasi di wilayah Umayyah, yang sebelumnya masih
memakai bahasa yang bermacam-macam, seperti bahasa Yunani di Syam, bahasa
Persia di Persia, dan bahas Qibti di Mesir. Ia juga memerintahkan untuk
mencetak uang secara teratur, membangun gedung-gedung, masjid-masjid dan
saluran-saluran air.
Khalifah Abdul Malik memerintah paling
lama, yakni 21 tahun ditopang oleh para pembantunya yang juga termasuk orang
kuat dan menjadi kepercayaannya, seperti al-Hajjaj ibn Yusuf yang gagah berani
di medan perang, dan Abdul Aziz, saudaranya yang dipercaya memegang jabatan
sebagai Gubernur Mesir. Yang tersebut pertama itu menjadi Gubernur wilayah
Hijaz setelah menundukkan Abdullah ibn Zubair yang memberontak di wilayah
tersebut. Gubernur itu dipindahkan ke Irak setelah dapat pula menaklukkan raja
bangsa Turki, Ratbil yang berusaha menyerang Sijistan yang sudah menjadi
wilayah Islam dan membunuh Gubernurnya, dengan pasukan yang dipimpin oleh
Abdurrahman ibn al-Asy’as. Padahal telah disepakati perjanjian damai antara
kedua belah pihak, sehingga penguasa Turki itu harus membayar jizyah kepada
Umayyah. Tetapi pasukan Islam berakhir dengan tragis karena perselisihan intern
yang terdapat dalam elite penguasa Muslim sendiri, yakni antara al-Hajjaj
dengan al-Asy’as. Tidak terelakkan lagi terjadinya kontak senjata antara
keduanya yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan al-Hajjaj karena dibantu oleh
Khalifah Abdul Malik. Disamping berjaya di medan perang al-Hajjaj juga berhasil
memperbaiki saluran-saluran sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan,
dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan, disamping
menyempurnakan tulisan mushhaf al-Quran dengan titik pada huruf-huruf tertentu.
Khalifah Abdul Malik wafat tahun 86 H dan diganti oleh putranya yang bernama
al-Walid.
Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik
memerintah sepuluh tahun lamanya (86-96 H). pada masa pemerintahannya kejayaan
dan kemakmuran melimpah ruah. Kekuasaan Islam melangkah ke Spanyol di bawah
pimpinan pasukan tariq ibn Ziyad ketika Afrika Utara dipegang oleh Gubernur
Musa ibn Nusair. Karena kekayaan melimpah maka ia sempurnakan gedung-gedung,
pabrik-pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kafilah
yang berlalu lalang di jalur tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang
terkenal hingga masa kini di Damaskus. Di samping itu ia menggunakan kekayaan
negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan pederita cacat
seperti orang lumpuh, buta, sakit kusta. Khalifah itu wafat tahun 96 H dan
digantikan oleh adiknya, Sulaiman sebagaimana wasiat ayahnya.
Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik tidak
sebijaksana kakaknya, ia kurang bijaksan, suka harta sebagaimana yang
diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan perang (ganimah)
dari Spanyol yang dibawa oleh Musa ibn Nusair. Ia menginginkan harta itu jatuh
ke tangannya, bukan ke tangan kakaknya, al-Walid yang saat itu masih hidup
walau dalam keadaan sakit. Musa ibn Nusair diperintahkan oleh Sulaiman agar
memperlambat datangnya ke Damaskus dengan harapan harta yang dibawanya itu
jatuh ke tangannya. Namun Musa enggan melaksanakan perintah Sulaiman tersebut,
yang mengakibatkan ia disiksa dan dipecat dari jabatannya ketika Sulaiman naik
menjadi Khalifah menggantikan al-Walid.
Ia dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya
yang kurang bijaksana itu. Para pejabatnya
terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa dimasa
para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga al-Hajjaj ibn Yusuf dan Muhammad
ibn Qasim yang menundukkan India.
Ia menunjuk Umar ibn Adul Aziz sebagai penggantinya sebelum meninggal pada
tahun 99 H.
Adapun khalifah ketiga yang besar ialah
Umar ibn Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahannya sangat pendek, namun Umar
merupakan ‘lembaran putih’ Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri
sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh
kebijaksanaan-kebijaksanaan Daulah Umayyah yang banyak disesali. Dia merupakan
personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang
sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Khalifah yang adil itu adalah putra Abdul
Aziz, Gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan dekat Kairo, atau Madinah kata sumber
yang lain. Rupanya keadilannya itu menurun dari Khalifah Umar ibn Khattab yang
menjadi kakeknya dari jalur ibunya. Ia menghabiskan waktunya di Madinah untuk
mendalami ilmu pengetahuan dimasa kecil, dan memang kota tersebut menjadi pusat ilmu dan
kebudayaan Islam pada saat itu. Ia mendalami ilmu agama Islam khususnya ilmu
hadits, dan ketika ia menjadi khalifah memerintahkan kaum Muslimin untuk
menuliskan hadits, dan inilah perintah resmi pertama dari penguasa Islam. Umar
adalah orang yang rapi dalam berpakaian, memakai wewangian dengan rambut yang
panjang dan cara jalan yang tersendiri, sehingga mode Umar itu ditiru banyak
orang di masanya.
Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul
Malik, Khalifah Umayyah yang sekaligus sebagai pamannya. Ia diangkat menjadi
Gubernur Madinah oleh Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik, salah seorang
sepupunya, tetapi ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra mahkota.
Berbekal dengan pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan harta sebagi
bangsawan Arab yang mulia, ia diangkat menjadi Khalifah menggantikan Sulaiman,
adik al-Walid. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi
seorang zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir
hayatnya yang hanya memerintah kurang lebih dua tahun saja.
Khalifah yang kaya itu dengan menguasai
tanah-tanah perkebunan di Hijaz, Syam, Mesir, Yaman, dan Bahrain, yang
menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun, setelah menduduki jabatan
barunya mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk
diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Disamping itu ia mengadakan
perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah serta Khawarij, menghentikan peperangan,
mencegah caci maki terhadap Khalifah Ali ibn Abi Thalib dalam khutbah Jum’at dan
diganti dengan bacaan ayat:
¨bÎ)
©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur
Ç!$tGÎ)ur
Ï
4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur
ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs?
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(An-Nahl:
90)
Khalifah yang adil itu berusaha
memperbaiki segala tatanan yang ada dimasa kekhalifahannya, sepeti menaikan
gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan memberikan santunan kepada
para fakir dan miskin, dan memperbaharui dinas pos. Ia juga menyamakan
kedudukan orang-orang non Arab yang menempati sebagai warga negara kelas dua,
dengan orang-orang Arab ia mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran
jizyah bagi orang Islam baru. Khalifah Umar meninggal pada tahun 101 H dan
diganti oleh Yajid II ibn Abdul Malik (101-105 H) pada masa pemerintahannya timbul
lagi perselisihan antara kaum Mudhariyah dan Yamaniyah. Pemerintahannya yang
singkat itu mempercepat proses kemunduran Umayyah.
Kekhalifahan Umayyah mulai mundur
sepeninggal Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Walau tidak secemerlang tiga khalifah
yang masyhur sebagaimana tersebut di atas, Khalifah Hisyam ibn Abdul Malik
perlu dicatat juga sebagai khalifah yang sukses. Ia memerintah dalam waktu yang
panjang, yakni 20 tahun (105-125 H). Ia dapat pula dikategorikan sebagai
khalifah Umayyah yang terbaik, karena kebersihan pribadinya, pemurah, gemar
kepada keindahan, berakhlak mulia dan tergolong teliti terutama dalam soal
keuangan, disamping bertaqwa dan berbuat adil. Dalam masa pemerintahannya
terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum Syi’ah yang bersekutu dengan kaum
Abbasiyah. Mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan yang diterapkan oleh
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang bertindak lemah lembut kepada semua kelompok.
Dalam diri keluarga Umayyah sendiri terjadi perselisihan tentang putra mahkota
yang melemahkan posisi Umayyah.
Masih ada empat khalifah lagi setelah Hisyam
yang memerintah hanya dalam waktu tujuh tahun, yakni al-Walid II ibn Yazid II,
Yazid III ibn al-Walid, Ibrahim ibn al-Walid dan Marwan ibn Muhammad. Yang
tersebut terakhir adalah penguasa Umayyah penghabisan yang terbunuh di Mesir
oleh pasukan Bani Abbasiyah pada tahun 132 H/750 M.[7]
C.
Kejayaan dan Kemunduran
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal
sebagai suatu era agresif, dimana perhatian tertumpu kepada usaha perluasan
wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman Khulafa ar-Rasyidin terakhir.
Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di penjuru empat mata angin
beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol,
seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Suriyah, Palestina, separoh daerah
Anatolia, Irak, Persia, Afganistan, India dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan,
Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk Sovyet Rusia.[8]
Memasuki kekuasaan masa Muawiyah yang
menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintah yang bersifat demokratis
berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan
Muawiyah diperoleh dengan kekerasaan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan
pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk meyatakan setia
terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah mencontoh monarchi di Persia
dan Bizantium. Dia memang menggunakan istilah khalifah, namun dia menberikan
interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia
menyebutkan “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh
Allah.[9]
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang
lebih 90 tahun. Ibu kota
negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa
menjadi gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini
adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705
M), al-Walid ibn Abd Malik (705-715), Umar ibn Abdul Aziz (71720 M) dan Hisyam
ibn Abd al-Malik (724-743 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa Usman dan
Ali dilanjutkan oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tunisia
dapat ditaklukan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan
sampai ke sungai Oxus dan afganistan sampai ke Kabul. Angkatan-angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang
dilakukan Muawiyah kemudian dilakukan oleh Abd al-Malik. Dia mengirim
tentaranya menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukan Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran
dilanjutkan oleh al-Walid ibn Abd al-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah
masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia.
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung kurang lebih sepuluh tahun itu
tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wliyah barat daya,
Benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M setelah al-Jazair dan Marokko dapat
ditundukan, Thariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya
menyeberangi laut yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan
mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal
Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi
sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota
Spanyol, Kordova, dengan cepat dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota
lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya
Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar ibn Abd Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan
Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abd al-Rahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia
mulai menyerang Bordeau, Poitiers.
Dari sana dia menyerang Tours,
namun peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi
terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah
tersebut di atas, pulau-pulau yang berada di laut tengah juga jatuh ke tangan
Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa
daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Bani Umayyah ini
betul-betul sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi Spanyol, Afrika Utara,
Syiria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang ini disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan
Kirgis di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani
Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah
mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang
lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan
angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus
seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi
adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik mengubah mata uang Bizantium
dan Persia
yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang
tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah
Abdul Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi Islam.
Keberhasilan Khalifah Abdul Malik diikuti oleh putranya al-Walid ibn Abdul
Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan
pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang
terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia
juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah
lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[10]
Ibu kota
Daulah Umayyah pindah ke Damaskus, suatu kota
tua di negeri Syam yang telah penuh dengan peninggalan kebudayaan maju
sebelumnya.
Daerah kekuasaannya, selain yang
diwariskan oleh Khulafa ar-Rasyidin, telah pula menguasai Andalu, Afrika Utara,
Syam, Irak, Iran, Khurosan, terus ke Timur sampai benteng Tiongkok. Dalam
daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan, seperti: Yunani,
Iskandariyah, Antiokia, Harran, Yunde, Sahfur,
yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan beragama Yahudi, Nasrani dan Zoroaster.
Setelah masuk Islam para ilmuwan itu tetap memelihara ilmu-ilmu peninggalan
Yunani itu, bahkan mendapat perlindungan. Di antara mereka ada yang mendapat
jabatan tinggi di istama Khalifah. Ada
yang menjadi dokter pribadi, bendaharawan, atau wazir, sehingga kehadiran
mereka, sedikit banyak, mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.[11]
Dinasti Bani Umayyah mengalami masa
kemunduran, ditandai dengan melemahnya sistem politik dan kekuasaan karena
banyak persoalan yang dihadapi para penguasa dinasti ini. Diantaranya adalah
masalah polotik, ekonomi, dan sebagainya.[12]
Adapun sebab-sebab kemunduran dinasti Bani
Umayyah adalah sebagai berikut:
1.
Khalifah memiliki kekuasaan
yang absolute. Khalifah tidak mengenal kompromi. Menentang khalifah berarti mati.
Contohnya adalah peristiwa pembunuhan Husein dan para pengikutnya di Karbala. Peritiwa ini
menyimpan dendam dikalangan para penentang Bani Umayyah. Sehingga selama
masa-masa kekhalifahan Bani Umayyah terjadi pergolakan politik yang menyebabkan
situasi dan kondisi dalam negeri dan pemerintahan terganggu.
2.
Gaya hidup mewah para khalifah. Kebiasaan
pesta dan berfoya-foya dikalangan istana, menjadi faktor penyebab rendahnya
moralitas mereka, disamping mengganggu keuangan Negara. Contohnya, Khalifah
Abdul Malik bin Marwan dikenal sebagai seorang khalifah yang suka berfoya-foya
dan memboroskan uang Negara. Sifat-sifat inilah yang tidak disukai masyarakat,
sehingga lambat laun mereka melakukan gerakan pemberontakan untuk menggulingkan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah.
3.
Tidak adanya ketentuan yang
tegas mengenai sistem pengangkatan khalifah. Hal ini berujung pada perebutan
kekuasaan diantara para calon khalifah.
4.
Banyaknya gerakan
pemberontakan selama masa-masa pertengahan hingga akhir pemerintahan Bani Umayyah.
Usaha penumpasan para pemberontak menghabiskan daya dan dana yang tidak
sedikit, sehingga kekuatan Bani Umayyah mengendur.
5.
Pertentangan antara Arab
Utara (Arab Mudhariyah) dan Arab Selatan (Arab Himariyah) semakin meruncing,
sehingga para penguasa Bani Umayah mengalami kesulitan untuk mempertahankan
kesatuan dan persatuan serta keutuhan Negara.
6.
Banyaknya tokoh agama yang
kecewa dengan kebijaksanaan para penguasa Bani Umayah, karena tidak didasari
dengan syari’at Islam.[13]
D.
Keruntuhan Dinasti
Umayyah dan Hikmahnya
Setelah
sekian lama mengalami masa-masa kemunduran, akhirnya dinasti Bani Umayah
benar-benar mengalami kehancuran atau keruntuhan. Keruntuhan ini terjadi pada
masa pemerintahan Marwan bin Muhammad setelah memerintah lebih kurang 6 tahun
(744-750 M).
Keruntuhan dinasti Bani Umayyah ditandai
dengan kekalahan Marwan bin Muhammad dalam pertempuran zab hulu melawa
pasukan Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 748 M. pada peristiwa itu terjadi
pembersihan etnis terhadap anggota keluarga Bani Umayyah. Selain itu, pasukan
Marwan bin Muhammad yang ditawan dibunuh. Sementara yang tersisa dan masih
hidup, terus dikejar dan kemudian dibunuh. Bahkan Marwan bin Muhammad yang
sempat melarikan diri dapat ditangkap dan kemudian dibunuh oleh pasukan Abu
Muslim al-Khurasani.
Pertikaian dan pembunuhan ini menimbulkan
kekacauan sosial dan politik, sehingga negara menjadi tidak aman dan masyarakat
yang pernah merasa tersisih bersatu dengan kelompok Abu Muslim dan Abul Abbas.
Bergabungnya masyarakat untul mengalahkan kekuatan Bani Umayyah, menandai
berakhirnya masa-masa kejayaan Bani Umayyah, sehingga sekitar tahun750 M Bani
Umayyah tumbang.
Adapun sebab-sebab utama terjadinya
keruntuhan dinasti Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1.
Terjadinya persaingan
kekuasaan di dalam anggota keluarga Bani Umayyah.
2.
Tidak ada pemimpin politik
dan militer yang handal yang mampu mengendalikan kekuasaan dan menjaga keutuhan
negara.
3.
Munculnya berbagai gerakan
perlawanan yang menentang kekuasaan Bani Umayyah, antara lain gerakan kelompok
Syi’ah.
4.
Serangan pasukan Abu Muslim
al-Khurasani da pasukan Abul Abbas ke pusat-pusat pemerintahan dan
menghancurkannya.
Banyak hikmah yang dapat diambil dari
kehancuran dinasti Bani Umayyah. Diantaranya adalah:
1.
Tidak boleh rakus dalam
kekuasaan.
2.
Tidak boleh boros, apalagi
menggunakan uang negara yang sumbernya berasal dari uang rakyat.
3.
Harus berlaku adil dalam
segala hal ketika menjadi penguasa dan setelahnya.
4.
Berakhlak mulia dan jangan
sombong.
5.
Harus dekat dengan Tuhan dan
rakyat yang mendukung kekuasaannya.
6.
Mengasihi fakir miskin dan
orang-orang lemah.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Berdirinya pemerintahan dinasti Bani
Umayyah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun peristiwa tersebut
mengandung banyak implikasi, diantaranya adalah perubahan beberapa prinsif dan
berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan
umat Islam.
Muawiyah adalah putra Abu Sufyan, seorang
pemuka Quraisy telah sekian lama menjadi musuh nabi yang sangat kejam. Muawiyah
beserta seluruh keluarganya dan seluruh keluarga keturunan Bani Umayyah memeluk
Islam pada saat terjadi penaklukan Makkah.
Muawiyah adalah penguasa Islam pertama
yang menggantikan sistem demokratis republik Islam menjadi sistem Monarkis
(kerajaan). Ia pendiri dinasti Bani Umayyah dan penguasa imperium Islam yang
sangat luas. Selama 19 tahun masa pemerintahannya ia terlibat sejumlah
peperangan dengan penguasa Romawi baik dalam pertempuran darat maupun laut.
Penguasa sesudah Muawiyah antara lain
Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah II, Marwan, Abdul Malik, Walid ibn Abdul
Malik/Walid I, Sulaiman ibn Abul Malik, Umar ibn Abdul Aziz, Yazid II, hisyam,
al-Walid II, Yazid III dan ibrahim, Marwan bin Muhammad.
DAFTAR PUSTAKA
-
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
-
Su’ud, Abu. Islamologi
(Sejarah Ajaran dan Peranannya Dalam Peradaban Umat Islam). Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2003.
-
Rasyidi, Badri, Sejarah
Peradaban Islam. Bandung:
CV. Armico, 1997.
-
Syalahi. Sejarah dan
Kebudayaan Islam. Jakarta:
PT. Alhusna, 1997.
-
Murodi. Sejarah
Kebudayaan Islam. Semarang:
PT. Karya Toha Putra, 1987.
-
Asman, Latif. Ringkasan
Sejarah Islam. Jakarta:
Widjaya, 1983.
-
Mufradi, Ali. Islam di
Kawasan Kebudayaan. Jakarta:
Logos, 1997.
-
Sunanto, Musyrifah. Sejarah
Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta Timur: Prenada Media, 2004.
[1] Drs. H. Badri Rasyidi, Sejarah
Peradaban Islam, Bandung:
CV. Armico, hal 28.
[2] Prof. Dr. Abu Su’ud, Sejarah Ajaran dan Perannya dalam Peradaban Umat
Manusia, Jakarta:
RINEKA CIPTA, hal. 66-67.
[3] Dr. Ali Mufradi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Jakarta:
Logos, hal 72-73.
[4] A. Latif Asman, Ringkasan
Sejarah Islam, Jakarta:
Widjaya, hal. 28.
[5] Ali Mufradi, op. cit., hal
74.
[6] Latif Asman, op. cit., hal
83.
[7]
Ali Mufradi, op.cit., hal 75-80.
[8] Ibid.,
hal 81
[9] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, hal. 42.
[10] Ibid., hal. 43-45.
[11] Prof. Dr. Hj. Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Prenada Media,
hal. 38-39.
[12] Murodi, Sejarah
Kebudayaan Islam, Semarang:
PT. Karya Toha Putra, hal. 26.
[13] Ibid.,
hal. 27-28.
No comments:
Post a Comment