Wednesday, November 30, 2016

الفعل التام



الفعل التام التصرف
          هو الإصطلاح ما يأتى منه الأفعال الثلاثة بالمراد (الماضى والمضارع والأمر). نحو : دَرَسَ – يَدْرُسُ – اُدْرُسْ.

الفعل الناقص التصرف
          هو فى الإصطلاح الذى يتصرف تصرفا ناقصا أي ما يأتى منه فعلان فقط نحو : ما زال – ما يزال, كاد – يكاد, يَدَعُ – دَعْ. ويسمر الفعل الناقص.
          هو فى الصرف ما كانت لامه حرف علة, نحو : رَضِيَ, سَعَى, دَعَا. وهو أيصا الفعل الناقص التصرف.
          والأفعال الناقصة فى النحو هي الأفعال التى لا تكتفى بمرفوعها فى تأدية معنى الجملة وإنما تحتاج إلى منصوب فتدخل على المبتدأ والخبر فترفع الأقل وتسميه اسمها وتنصب الثانى وتسميه خبرها, نحو : كان العمل نَشِيْطًا.
وهو نوعان     :        1) كان وأخواتها
                             2) كاد وأخواتها



فى الناقص وأحكامه
Tentang naqish dan ketentuan-ketentuannya.
            Telah disyaratkan sebelumnya, bahwa fi’il naqish adalah suatu fi’il yang lam fi’il-nya berupa huruf ‘illat. Hal ini terdiri dari naqish wawii atau naqish ya-ii, tidak ada yang akhirnya alif melainkan berupa pergantian dari wawu atau ya.
            Jenis ini secara terinci ada enam macam, karena masing-masing dari naqish wawii dan naqish ya-ii adakalanya tetap dalam bentuknya yang asli, adakalanya diganti menjadi alif, adakalanya wawu diganti menjadi ya, dan adakalanya ya diganti menjadi wawu. Selanjutnya, adakalanya yang akhirnya alif merupakan pergantian dari wawu dan adakalanya pula merupakan pergantian dari ya.
            Untuk contoh wawu yag tetap seperti asalnya ialah رَخُوَ, بَذُوَ dan سَرُوَ .
            Untuk contoh naqish yang asal lam fi’il-nya berupa wawu lalu diganti menjadi ya adalah رَضِيَ, رَجِيَ, حَلِىَ, حَفِيَ, حَظِيَ dan شَقِيَ. Demikian pula contoh-contoh berikut قَوِيَ, حَوِيَ, dan لَوِيَ. Pembahasan mengenai hal ini yang sejenis akan dibahas dalam bab lafif.
            Untuk contoh naqish yang lam fi’il-nya berpa wawu lalu diganti menjadi alif adalah دَعَا, سَمَا dan غَزَا.
            Untuk contoh naqish ya-ii yang tetap dalam bentuk asalnya adalah طَغِيَ, شَصِيَ, زَكِيَ, رَقِيَ  dan صَغِيَ. Contoh lainnya adalah عَيِيَ, ضَوِيَ dan هَوِيَ; hal ini dan yang serupa dengannya akan dibahas dalam bab lafif.
            Untuk contoh naqish yang lam fi’il-nya berupa ya lalu diganti menjadi wawu adalah seperti lafaz نَهُوَ. Dalam bahasa Arab tidak ada contoh lain dari jenis ini kecuali hanya lafaz tersebut.
            Untuk contoh naqish yang lam fi’il-nya berasal ya lalu diganti menjadi alif adalah seperti هَمَى, كَفَى, رَمَى dan مَأَى.
            Bentuk naqish ini diungkapkan dalam lima wazan, seperti penjelasan berikut:
            Pertama, wazan yang semisal dengan lafaz dharaba yadhribu, contohnya مَرَ يَمْرِى dan فَلَى يَفْلِى.
            Kedua, wazan yang semisal dengan nashara yanshuru, contoh دَعَا يَدْعُو, سَمَا يَسْمُوْ dan عَلاَ يَعْلُو.
            Ketiga, wazan yang semisal dengan fataha yaftahu, contoh نَحَا يَنْحَى, طَغَ يَطْغَى, رَعَى يَرْعَى  dan سَعَى يَسْعَى.
            Keempat, wazan yang semisal dengan karuma yakrumu, contoh رَخُوَ يَرْخُوْ dan سَرُوَ يَسْرُوْ.
            Kelima, wazan yang semisal dengan ‘alima ya’lamu, contoh حَفِيَ يَحْفَى, رَضِيَ يَرَْضَى dan رَقِيَ يَرْقَى.
Ketentuan bagi madhi-nya sebelum bertemu dengan dhamir.
            Selain dari tsulatsii mujarrad senuanya wajib lam fi’il diganti menjadi alif, karena lam fi’il semua berharakat menurut bentuk asalnya, sedangkan sebelumnya terdapat harakat fathah. Manakala wawu atau ya dalam sighat seperti itu kecuali harus diganti menjadi alif.
Sebagai contoh adalah: اِسْتَدْعَى, تَعَامَى, تَرَاضَى, تَزَكَّى, تَلَقَى, اِنْهَوَى, اِنْجَلَى, اقِْتَدَى, اِهْتَدَى نَادَى, دَارَى, أَبْقَى, أَعْطَى, قلسَى, سَلْقَى dan اسْتَغْشَى.
Bentuk asal semuanya adalah sebagaimana penjelasan tentang lafaz أبْقَىَ , huruf ya menyandang harakat, sedangkan sebelumnya terdapat harakat fathah, karena itu diganti menjadi alif, akhirnya menjadi أبْقَى . demikian pula yang terjadi terhadap lafaz-lafaz lainnya.
Adapun mengenai bentuk naqish yang tsulatsii mujarrad, adakalanya ‘ain fi’il-nya di-dhammah-kan, atau di-kasrah-kan, atau di-fathah-kan.
Apabila ‘ain fi’il-nya di-dhammah-kan, maka di-tashhih-kan bila lam-nya berupa wawu, seperti lafaz سَرُوَ . Bila lam fi’il-nya adalah ya, maka diganti menjadi wawu karena terletak di tepi kalimat sedangkan sebelumnya terdapat harakat dhammah, seperti lafaz نَهُوَ.
Bilamana ‘ain-nya di-kasrah-kan, lalu bila lam fi’il-nya berupa ya, maka dianggap salim (di-tashhih-kan) seperti lafaz بَقِيَ . Apabila lam fi’il-nya berupa wawu, maka diganti menjadi ya karena letaknya di pinggir kalimat, sedangkan sebelumnya terdapat harakat kasarah seperti lafaz رَضِيَ .
Apabila ‘ain fi’il-nya di-fathah-kan maka lam fi’il-nya wajib diganti menjadi alif, tanpa memandang apakah asalnya wawu atau ya, karena masing-masing menyandang harakat, sedangkan sebelumnya terdapat harakat fathah, seperti lafaz سَمَا dan رَمَى.
Ketentuan bentuk mudhari’-nya sebelum bertemu dhamir.
Hal yang harus diperhatikan dalam bentuk mudhari’ ialah harakat sebelum huruf akhirnya. Apabila harakat sebelum huruf akhir adalah dhammah, hal ini hanya terdapat pada bentuk mudhari’ tsulatsii yang naqish wawi, maka lam fi’il lafaz yang bersangkutan menjadi wawu seperti lafaz يَسْرُوْ dan يَدْعُوْ . Apabila harakat sebelum huruf akhir adalah kasrah, hal ini terdapat pada mudhari’ tsulatsii yang naqish ya-ii dan mudhari’ ruba’ii-nya secara keseluruhan, serta mudhari’ yang dimulai dengan hamzah washal dari fi’il naqish khumasii dan tsulatsii, maka lam fi’il-nya menjadi ya, seperti يَنْهَوِى, يُعْطِى, يَرْمِى dan يَسْتَوْلِى . Apabila harakat sebelum huruf akhirnya adalah fathah, hal ini terdapat pada mudhari’ tsulatsii dalam bab ‘alima dan fataha, dan dalam mudhari’ yang dimulai dengan ta zaidah dari fi’il naqish khumasii; maka lam fi’il-nya menjadi alif seperti يَتَوَلَّى, يَعْظَى, يَرْمَى dan يَتَزَكَّى.
Ketentuan bentuk madhi naqish bila di-isnad-kan kepada dhamir dan yang sejenis dengannya.
Apabila madhi naqish di-isnad-kan kepada dhamir mutaharrik (dhamir yang berharakat), bilamana lam fi’il-nya berupa wawu, atau ya, maka keduanya dianggap salim. Untuk itu katakanlah seperti سَرُوْتُ dan رَضِيْتُ. Apabila lam fi’il-nya berupa alif gantilah dengan ya, jika lafaz yang bersangkutan lebih dari tiga huruf, kembalikan kepada bentuk asalnya bila lafaz yang bersangkutan terdiri dari tiga huruf. Untuk itu katakanlah أعْطَيْتُ dan اسْتَدْعَيْتُ. Katakanlah دَعَوْتُ, غَزَوْتُ dan سَمَوْتُ . Katakan pula seperti berikut: كَمَيْتُ, رَمَيْتُ dan بَنَيْتُ .
Bila bertemu dengan ta ta-nits, dan lam-nya berupa wawu atau ya, keduanya ditetapkan seraya menyandang harakat fathah seperti dalam kedua contoh berikut, yaitu سَرُوَتْ dan رَضِيَتْ . Apabila lam fi’il-nya berupa alif, dalam bentuk tsulatsi dan lain-lainnya dibuang, untuk itu katakanlah seperti بَنَتْ, رَمَتْ, غَزَتْ, سَمَتْ, دَعَتْ dan كَنَتْ. Katakanlah pula seperti وَالَتْ, أعْطَتْ dan اسْتَدْعَتْ.
Apabila fi’il madhi naqish di-isnad-kan kepada dhamir yang di-sukun-kan, lalu dhamir yang dimaksud berupa alif itsnain, maka bentuk fi’il yang bersangkutan tetap seperti asalnya, apakah naqish wawi atau naqish ya-ii. Untuk itu katakanlah سَرُوَ dan رَضِيَا.
Apabila lam fi’il-nya berupa alif, harus diganti menjadi ya pada selain fi’il tsulatsii, dan dikembalikan kepada bentuk asalnya bila tsulatsii. Untuk itu katakan seperti berikut نَاجَيَا, نَادَيَا, أعْطَيَا dan اسْتَدْعَيَا. Katakan pula seperti: رَمَيَا, دَعَوَا, غَزَوَا dan بَغَيَا.
Apabila dhamir yang dimaksud berupa wawu jama’ah, maka lam fi’il-nya harus dibuang, apakah berupa wawu atau ya, atau alif. Sedangkan huruf sebelum alif tetap di-fathah-kan untuk mengisyaratkan kepada huruf yang dibuang, bila yang dibuang itu adalah wawu dan ya maka huruf sebelumnya tetap di-dhammah-kan, dimaksud untuk menyesuaikan diri dengan wawu jama’ah. Untuk itu katakan seperti berikut: رَمَوْا, دَعَوْا, غَزَوْا, ناَدَوْا, اسْتَدْعَوْا, أعْطَوْا dan بَغَوْا , katakana pula رَضُوْا, بَذُوْا, سَرُوْا dan بَقُوْا . Contoh lainnya adalah firman Allah swt.:
وَنَادَوْا يملِكُ
Mereka berseru: “Hai Malik..(Az-Zukhruf: 77)
واسْتًغْشَوْا ثِيَابَهُمْ
Dan mereka menutupkan bajunya (ke mukanya). (Nuh: 7)
دَعَوُااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Yunus: 22)
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ
Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. (Al-Bayyinah: 8)
فَنَسُوْا حَظًّا مِمَّا ذُكَّرُوْا بِهِ
Tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. (Al-Maidah: 14)
Ketentuan bentuk mudhari’-nya sewaktu bertemu dengan dhamir.
            Apabila bentuk mudhari’ fi’il naqish di-isnad-kan kepada nun niswah, bila ternyata lam fi’il-nya berupa wawu atau ya, maka diselamatkan dari i’lal. Untuk itu katakanlah seperti dalam contoh-contoh berikut:
النِّسْوَةُ يَسْرُوْنَ      Wanita-wanita itu merasa senang.
 النِّسْوَةُ يَدْعُوْنَ      Wanita-wanita itu berdoa.
النِّسْوَةُ يَغْزُوْنَ       Wanita-wanita itu berperang.
Dalam contoh-contoh lainnya katakanlah seperti berikut:
النِّسْوَةُ يَرْمِيْنَ        Wanita-wanita itu melempar.
النِّسْوَةُ يَسْرِيْنَ       Wanita-wanita itu berjalan di malam hari.
النِّسْوَةُ يُعْطِيْنَ        Wanita-wanita itu memberi.
النِّسْوَةُ يَسْتَدْعِيْنَ     Wanita-wanita itu meminta.
النِّسْوَةُ يُنَادِيْنَ        Wanita-wanita itu berseru.
Contoh lainnya adalah firman Allah swt.:
إلاَّ أنْ يَعْفُوْنَ
Kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237)
            Apabila lam fi’il-nya berupa alif, secara mutlak harus diganti menjadi ya, seperti berikut: يَتَدَاعَيْنَ, يَتَزَكَّيَنَ, يَخْشَيْنَ, يَرْضَيْنَ dan يَتَنَازَيَنَ .
            Meng-isnad-kannya kepada alif itsnain sama dengan meng-isnad-kannya kepada nun niswah, yaitu wawu dan ya nya diselamatkan dari i’lal. Bila alif, maka secara mutlak diganti menjadi ya. Hanya huruf sebelum nun niswah harus di-sukun-kan, sebelum alif itsnain di-fathah-kan. Untuk itu katakanlah seperti berikut: يَسْرُوَانِ, الحُمَّدَانِ,  يَسْتَدْعِيَانِ, يُعْطِيَانِ, يَسْرِيَانِ, يَرْمِيَانِ, يَغْزُوَانِ, يَدْعُوَانِ, يُنَادِيَانِ, يَرْضَيَانِ, يَخْشَيَانِ, يَتَزَكِّيَانِ, يَتَدَاعَيَانِ dan يَتَنَاجَيَانِ.
            Apabila bentuk mudhari’ naqish di-isnad-kan kepada wawu jama’ah, maka lam fi’il-nya secara mutlak harus dibuang tanpa memandang apakah berupa wawu, atau ya, atau alif. Sedangkan huruf sebelum alif harus tetap di-fathah-kan untuk menunjukkan kepada huruf yang dibuang, dan huruf sebelum wawu atau ya di-dhammah-kan untuk menyesuaikan diri dengan wawu jama’ah. Untuk itu katakan seperti dalam contoh-contoh berikut: يَتَدَاعَوْنَ, يَتَزَكَّوْنَ, يَخْشَوْنَ, يَرْضَوْنَ dan يَتَنَاجَوْنَ . Katakan pula seperti berikut: يَسْتَدْعُوْنَو يُعْطُوْنَ, يَسْرُوْنَ, يَرْمُوْنَ, يَغْزُوْنَ, يَدْعُوْنَ, يَسْرُوْنَ dan يُنَادُوْنَ . Contoh lainnya adalah seperti yang terkandung di dalam firman Allah swt.:
يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
Orang-orang yang takut kepada rabb-Nya. (al-Mulk: 12)
فَلاَ تَتَنَاجَوْا باِلإثْمِ وَالعُدْوَانِ
Janganlah kalian membicarakan tentang membuat dosa dan permusuhan. (al-Mujadilah: 9)
إنَّ الذِيْنَ يُنَادُوْنَكَ مِنْ وَّرَآءِ الحُجُرَاتِ
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kami dari luar kamar (mu). (al-Hujurat: 4)
            Apabila bentuk mudhari’ naqish di-isnad-kan kepada ya muannats mukhatabah, secara mutlak buanglah lam fi’il-nya, apakah berupa wawu, ya atau alif. Sedangkan huruf sebelum alif tetap di-fathah-kan untuk menunjukkan kepada huruf yang dibuang, dan sebelum wawu atau ya di-kasrah-kan untuk menyesuaikan diri dengan ya mukhatabah. Untuk itu katakan تَرْمِيْنَ, تَعْلِيْنَ, تَدْعِيْنَ, تَرْضَيْنَ, تَخْشَيْنَ يَازَيْنَبُ, تُعْطِيْنَ, تَبْنِيْنَ dan تَسْتَرْضِيْنَ.
Ketentuan bagi bentuk amar-nya bila di-isnad-kan kepada dhamir
            Bentuk ‘amar sama dengan bentuk mudhari’ yang di-jazm-kan. Menurut asalnya lam fi’il naqish dibuang bila dalam sighat amar, karena bentuk amar-nya adalah membuang huruf ‘illat. Akan tetapi billa di-isnad-kan kepada dhamir, maka lam fi’il-nya dikembalikan lagi ke asalnya.
            Kemudian bila di-isnad-kan kepada nun niswah atau alif itsnain maka lam-nya selamat dari i’lal, jika ternyata lam-nya adalah ya atau wawu. Tetapi jika ternyata alif, maka harus diganti menjadi ya; unutk itu katakanlah seperti berikut اُعْزُوْنَ, اُدْعُوْنَ,   اِخْشَيْنَ, اِرْضَيْنَ, نَادِيْنَ, اِسْتَدْعِيْنَ, أعْطِيْنَ, أسْرِيْنَ, أرْميْنَ, تَدَاعَيْنَ, تَزَكَّيْنَ,    يََانِسْوَةُ اُسْرُوْنَ,dan تَنَاجَيْنَ . Katakan pula seperti berikut: يَامُحَمَّدَانِ, تَدَاعَيَا, تَزَكَّيَا, اِخْشَيَا, اِرْضَيَا, نَادِيَا, اِسْتَدْعِيَا, أعْطِيَا, اِسْرِيَا, اِرْمِيَا, اُعْزُوَا, اُدْعُوَا, اُسْرُوَا .
            Apabila di-isnad-kan kepada wawu jama’ah atau ya mukhatabah, maka harus membuang lam-nya secara mutlak, tanpa memandang apakah berupa wawu, ya atau alif. Selanjutnya huruf sebelum alif dalam dua tempat tersebut tetap di-fathah-kan, sedangkan selainnya (yakni sebelum wawu atau ya) di-kasrah-kan bila sebelum ya mukhatabah, dan di-dhammah-kan bila sebelum wawu jama’ah. Untuk itu katakan seperti berikut أُعْطُوْا, اُرْمُوْا, اعْزُوْا, اُسْرُوْا, تَزَكُّوْا, اِخْشَوْا, اِرْضَوْا dan اِسْتَدْعُوْا . dan katakan pula seperti berikut أعْطِى, اَسْرِى, تَزَكَّيْ, اِخْشَيْ, اِرْضَيْ dan اِسْتَدْعِى .



DAFTAR PUSTAKA

-          Akar, Nafisah. 1993. Mu’jam Mufasshol fi Ilmi Shorfi. Libanon: Darul Kutub Ilmiah.
-          Ibnu ‘Aqil, Bahaudin bin Abdullah. 1992.  Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil. Bandung: Sinar Baru.  
 


No comments:

Post a Comment