الفعل التام التصرف
هو
الإصطلاح ما يأتى منه الأفعال الثلاثة بالمراد (الماضى والمضارع والأمر). نحو :
دَرَسَ – يَدْرُسُ – اُدْرُسْ.
الفعل الناقص التصرف
هو
فى الإصطلاح الذى يتصرف تصرفا ناقصا أي ما يأتى منه فعلان فقط نحو : ما زال – ما
يزال, كاد – يكاد, يَدَعُ – دَعْ. ويسمر الفعل الناقص.
هو
فى الصرف ما كانت لامه حرف علة, نحو : رَضِيَ, سَعَى, دَعَا. وهو أيصا الفعل
الناقص التصرف.
والأفعال
الناقصة فى النحو هي الأفعال التى لا تكتفى بمرفوعها فى تأدية معنى الجملة وإنما
تحتاج إلى منصوب فتدخل على المبتدأ والخبر فترفع الأقل وتسميه اسمها وتنصب الثانى
وتسميه خبرها, نحو : كان العمل نَشِيْطًا.
وهو نوعان : 1) كان وأخواتها
2)
كاد وأخواتها
فى الناقص وأحكامه
Tentang naqish dan ketentuan-ketentuannya.
Telah
disyaratkan sebelumnya, bahwa fi’il naqish adalah suatu fi’il yang lam
fi’il-nya berupa huruf ‘illat. Hal ini terdiri dari naqish wawii
atau naqish ya-ii, tidak ada yang akhirnya alif melainkan
berupa pergantian dari wawu atau ya.
Jenis ini
secara terinci ada enam macam, karena masing-masing dari naqish wawii
dan naqish ya-ii adakalanya tetap dalam bentuknya yang asli,
adakalanya diganti menjadi alif, adakalanya wawu diganti menjadi ya,
dan adakalanya ya diganti menjadi wawu. Selanjutnya, adakalanya
yang akhirnya alif merupakan pergantian dari wawu dan adakalanya
pula merupakan pergantian dari ya.
Untuk contoh
wawu yag tetap seperti asalnya ialah رَخُوَ,
بَذُوَ dan سَرُوَ .
Untuk contoh
naqish yang asal lam fi’il-nya berupa wawu lalu diganti
menjadi ya adalah رَضِيَ, رَجِيَ, حَلِىَ,
حَفِيَ, حَظِيَ dan شَقِيَ.
Demikian pula contoh-contoh berikut قَوِيَ, حَوِيَ, dan لَوِيَ. Pembahasan mengenai hal ini yang sejenis
akan dibahas dalam bab lafif.
Untuk contoh
naqish yang lam fi’il-nya berpa wawu lalu diganti menjadi alif
adalah دَعَا, سَمَا dan غَزَا.
Untuk contoh
naqish ya-ii yang tetap dalam bentuk asalnya adalah طَغِيَ, شَصِيَ, زَكِيَ, رَقِيَ dan صَغِيَ. Contoh lainnya
adalah عَيِيَ, ضَوِيَ dan هَوِيَ; hal ini dan yang serupa dengannya akan dibahas dalam bab lafif.
Untuk contoh
naqish yang lam fi’il-nya berupa ya lalu diganti menjadi wawu
adalah seperti lafaz نَهُوَ. Dalam bahasa Arab tidak ada contoh lain dari jenis ini kecuali
hanya lafaz tersebut.
Untuk contoh
naqish yang lam fi’il-nya berasal ya lalu diganti menjadi alif
adalah seperti هَمَى, كَفَى, رَمَى dan مَأَى.
Bentuk naqish
ini diungkapkan dalam lima
wazan, seperti penjelasan berikut:
Pertama, wazan
yang semisal dengan lafaz dharaba yadhribu, contohnya مَرَ يَمْرِى
dan فَلَى يَفْلِى.
Kedua, wazan
yang semisal dengan nashara yanshuru, contoh دَعَا يَدْعُو, سَمَا يَسْمُوْ
dan عَلاَ يَعْلُو.
Ketiga, wazan
yang semisal dengan fataha yaftahu, contoh نَحَا يَنْحَى, طَغَ يَطْغَى, رَعَى يَرْعَى dan سَعَى يَسْعَى.
Keempat, wazan
yang semisal dengan karuma yakrumu, contoh رَخُوَ يَرْخُوْ dan سَرُوَ يَسْرُوْ.
Kelima, wazan
yang semisal dengan ‘alima ya’lamu, contoh حَفِيَ يَحْفَى, رَضِيَ يَرَْضَى dan رَقِيَ يَرْقَى.
Ketentuan bagi madhi-nya sebelum bertemu dengan dhamir.
Selain dari tsulatsii
mujarrad senuanya wajib lam fi’il diganti menjadi alif,
karena lam fi’il semua berharakat menurut bentuk asalnya, sedangkan
sebelumnya terdapat harakat fathah. Manakala wawu atau ya
dalam sighat seperti itu kecuali harus diganti menjadi alif.
Sebagai contoh adalah: اِسْتَدْعَى, تَعَامَى, تَرَاضَى, تَزَكَّى, تَلَقَى, اِنْهَوَى,
اِنْجَلَى, اقِْتَدَى, اِهْتَدَى نَادَى, دَارَى, أَبْقَى, أَعْطَى, قلسَى,
سَلْقَى dan اسْتَغْشَى.
Bentuk asal semuanya adalah sebagaimana
penjelasan tentang lafaz أبْقَىَ , huruf ya menyandang harakat, sedangkan sebelumnya
terdapat harakat fathah, karena itu diganti menjadi alif, akhirnya menjadi أبْقَى .
demikian pula yang terjadi terhadap lafaz-lafaz lainnya.
Adapun mengenai bentuk naqish yang tsulatsii
mujarrad, adakalanya ‘ain fi’il-nya di-dhammah-kan, atau
di-kasrah-kan, atau di-fathah-kan.
Apabila ‘ain fi’il-nya di-dhammah-kan,
maka di-tashhih-kan bila lam-nya berupa wawu, seperti lafaz سَرُوَ .
Bila lam fi’il-nya adalah ya, maka diganti menjadi wawu
karena terletak di tepi kalimat sedangkan sebelumnya terdapat harakat dhammah,
seperti lafaz نَهُوَ.
Bilamana ‘ain-nya di-kasrah-kan,
lalu bila lam fi’il-nya berupa ya, maka dianggap salim
(di-tashhih-kan) seperti lafaz بَقِيَ . Apabila lam fi’il-nya berupa wawu,
maka diganti menjadi ya karena letaknya di pinggir kalimat, sedangkan
sebelumnya terdapat harakat kasarah seperti lafaz رَضِيَ .
Apabila ‘ain fi’il-nya
di-fathah-kan maka lam fi’il-nya wajib diganti menjadi alif,
tanpa memandang apakah asalnya wawu atau ya, karena masing-masing
menyandang harakat, sedangkan sebelumnya terdapat harakat fathah, seperti lafaz
سَمَا
dan رَمَى.
Ketentuan bentuk mudhari’-nya sebelum bertemu dhamir.
Hal yang harus diperhatikan dalam bentuk mudhari’
ialah harakat sebelum huruf akhirnya. Apabila harakat sebelum huruf akhir
adalah dhammah, hal ini hanya terdapat pada bentuk mudhari’ tsulatsii
yang naqish wawi, maka lam fi’il lafaz yang bersangkutan
menjadi wawu seperti lafaz يَسْرُوْ dan يَدْعُوْ . Apabila harakat sebelum huruf akhir
adalah kasrah, hal ini terdapat pada mudhari’ tsulatsii yang naqish
ya-ii dan mudhari’ ruba’ii-nya secara keseluruhan, serta mudhari’
yang dimulai dengan hamzah washal dari fi’il naqish khumasii
dan tsulatsii, maka lam fi’il-nya menjadi ya, seperti يَنْهَوِى, يُعْطِى, يَرْمِى dan يَسْتَوْلِى . Apabila harakat sebelum huruf akhirnya adalah fathah, hal ini
terdapat pada mudhari’ tsulatsii dalam bab ‘alima dan fataha,
dan dalam mudhari’ yang dimulai dengan ta zaidah dari fi’il
naqish khumasii; maka lam fi’il-nya menjadi alif
seperti يَتَوَلَّى, يَعْظَى, يَرْمَى dan يَتَزَكَّى.
Ketentuan bentuk madhi naqish bila di-isnad-kan kepada
dhamir dan yang sejenis dengannya.
Apabila madhi naqish di-isnad-kan
kepada dhamir mutaharrik (dhamir yang berharakat), bilamana lam
fi’il-nya berupa wawu, atau ya, maka keduanya dianggap salim.
Untuk itu katakanlah seperti سَرُوْتُ dan رَضِيْتُ. Apabila lam fi’il-nya berupa alif
gantilah dengan ya, jika lafaz yang bersangkutan lebih dari tiga huruf,
kembalikan kepada bentuk asalnya bila lafaz yang bersangkutan terdiri dari tiga
huruf. Untuk itu katakanlah أعْطَيْتُ dan اسْتَدْعَيْتُ. Katakanlah دَعَوْتُ,
غَزَوْتُ dan سَمَوْتُ . Katakan
pula seperti berikut: كَمَيْتُ, رَمَيْتُ dan بَنَيْتُ .
Bila bertemu dengan ta ta-nits,
dan lam-nya berupa wawu atau ya, keduanya ditetapkan
seraya menyandang harakat fathah seperti dalam kedua contoh berikut, yaitu سَرُوَتْ
dan رَضِيَتْ
. Apabila lam fi’il-nya berupa alif, dalam bentuk tsulatsi
dan lain-lainnya dibuang, untuk itu katakanlah seperti بَنَتْ, رَمَتْ, غَزَتْ, سَمَتْ, دَعَتْ dan كَنَتْ. Katakanlah pula seperti وَالَتْ,
أعْطَتْ dan اسْتَدْعَتْ.
Apabila fi’il madhi naqish di-isnad-kan
kepada dhamir yang di-sukun-kan, lalu dhamir yang dimaksud berupa alif
itsnain, maka bentuk fi’il yang bersangkutan tetap seperti
asalnya, apakah naqish wawi atau naqish ya-ii.
Untuk itu katakanlah سَرُوَ dan رَضِيَا.
Apabila lam fi’il-nya berupa alif,
harus diganti menjadi ya pada selain fi’il tsulatsii, dan
dikembalikan kepada bentuk asalnya bila tsulatsii. Untuk itu katakan
seperti berikut نَاجَيَا, نَادَيَا, أعْطَيَا dan اسْتَدْعَيَا. Katakan pula seperti: رَمَيَا, دَعَوَا, غَزَوَا
dan بَغَيَا.
Apabila dhamir yang dimaksud berupa wawu
jama’ah, maka lam fi’il-nya harus dibuang, apakah berupa wawu
atau ya, atau alif. Sedangkan huruf sebelum alif tetap
di-fathah-kan untuk mengisyaratkan kepada huruf yang dibuang, bila yang dibuang
itu adalah wawu dan ya maka huruf sebelumnya tetap di-dhammah-kan, dimaksud
untuk menyesuaikan diri dengan wawu jama’ah. Untuk itu katakan
seperti berikut: رَمَوْا, دَعَوْا, غَزَوْا, ناَدَوْا,
اسْتَدْعَوْا, أعْطَوْا dan بَغَوْا ,
katakana pula رَضُوْا, بَذُوْا, سَرُوْا dan بَقُوْا . Contoh lainnya adalah firman Allah swt.:
وَنَادَوْا يملِكُ
Mereka berseru: “Hai Malik..(Az-Zukhruf:
77)
واسْتًغْشَوْا ثِيَابَهُمْ
Dan mereka menutupkan bajunya (ke
mukanya). (Nuh: 7)
دَعَوُااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
Maka mereka berdoa kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Yunus: 22)
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ
Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun
ridha kepada-Nya. (Al-Bayyinah: 8)
فَنَسُوْا حَظًّا مِمَّا ذُكَّرُوْا بِهِ
Tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian
dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. (Al-Maidah: 14)
Ketentuan bentuk mudhari’-nya sewaktu bertemu dengan
dhamir.
Apabila
bentuk mudhari’ fi’il naqish di-isnad-kan kepada nun
niswah, bila ternyata lam fi’il-nya berupa wawu atau ya,
maka diselamatkan dari i’lal. Untuk itu katakanlah seperti dalam
contoh-contoh berikut:
النِّسْوَةُ يَسْرُوْنَ Wanita-wanita itu merasa senang.
النِّسْوَةُ يَدْعُوْنَ Wanita-wanita itu
berdoa.
النِّسْوَةُ يَغْزُوْنَ Wanita-wanita
itu berperang.
Dalam contoh-contoh lainnya katakanlah seperti berikut:
النِّسْوَةُ يَرْمِيْنَ Wanita-wanita
itu melempar.
النِّسْوَةُ يَسْرِيْنَ Wanita-wanita
itu berjalan di malam hari.
النِّسْوَةُ يُعْطِيْنَ Wanita-wanita
itu memberi.
النِّسْوَةُ يَسْتَدْعِيْنَ Wanita-wanita itu meminta.
النِّسْوَةُ يُنَادِيْنَ Wanita-wanita itu berseru.
Contoh lainnya adalah firman Allah swt.:
إلاَّ أنْ يَعْفُوْنَ
Kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan. (Al-Baqarah:
237)
Apabila lam
fi’il-nya berupa alif, secara mutlak harus diganti menjadi ya,
seperti berikut: يَتَدَاعَيْنَ, يَتَزَكَّيَنَ,
يَخْشَيْنَ, يَرْضَيْنَ dan يَتَنَازَيَنَ
.
Meng-isnad-kannya
kepada alif itsnain sama dengan meng-isnad-kannya kepada nun
niswah, yaitu wawu dan ya nya diselamatkan dari i’lal.
Bila alif, maka secara mutlak diganti menjadi ya. Hanya huruf
sebelum nun niswah harus di-sukun-kan, sebelum alif itsnain
di-fathah-kan. Untuk itu katakanlah seperti berikut: يَسْرُوَانِ,
الحُمَّدَانِ, يَسْتَدْعِيَانِ,
يُعْطِيَانِ, يَسْرِيَانِ, يَرْمِيَانِ, يَغْزُوَانِ, يَدْعُوَانِ, يُنَادِيَانِ,
يَرْضَيَانِ, يَخْشَيَانِ, يَتَزَكِّيَانِ, يَتَدَاعَيَانِ dan يَتَنَاجَيَانِ.
Apabila
bentuk mudhari’ naqish di-isnad-kan kepada wawu jama’ah,
maka lam fi’il-nya secara mutlak harus dibuang tanpa memandang
apakah berupa wawu, atau ya, atau alif. Sedangkan huruf
sebelum alif harus tetap di-fathah-kan untuk menunjukkan kepada huruf
yang dibuang, dan huruf sebelum wawu atau ya di-dhammah-kan untuk
menyesuaikan diri dengan wawu jama’ah. Untuk itu katakan seperti
dalam contoh-contoh berikut: يَتَدَاعَوْنَ,
يَتَزَكَّوْنَ, يَخْشَوْنَ, يَرْضَوْنَ
dan يَتَنَاجَوْنَ . Katakan pula seperti berikut: يَسْتَدْعُوْنَو
يُعْطُوْنَ, يَسْرُوْنَ, يَرْمُوْنَ, يَغْزُوْنَ, يَدْعُوْنَ, يَسْرُوْنَ dan يُنَادُوْنَ . Contoh lainnya adalah seperti yang
terkandung di dalam firman Allah swt.:
يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
Orang-orang yang takut kepada rabb-Nya. (al-Mulk:
12)
فَلاَ تَتَنَاجَوْا باِلإثْمِ وَالعُدْوَانِ
Janganlah kalian membicarakan tentang
membuat dosa dan permusuhan. (al-Mujadilah: 9)
إنَّ الذِيْنَ يُنَادُوْنَكَ مِنْ وَّرَآءِ الحُجُرَاتِ
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil
kami dari luar kamar (mu). (al-Hujurat: 4)
Apabila
bentuk mudhari’ naqish di-isnad-kan kepada ya muannats
mukhatabah, secara mutlak buanglah lam fi’il-nya, apakah berupa wawu,
ya atau alif. Sedangkan huruf sebelum alif tetap
di-fathah-kan untuk menunjukkan kepada huruf yang dibuang, dan sebelum wawu
atau ya di-kasrah-kan untuk menyesuaikan diri dengan ya mukhatabah.
Untuk itu katakan تَرْمِيْنَ, تَعْلِيْنَ, تَدْعِيْنَ,
تَرْضَيْنَ, تَخْشَيْنَ يَازَيْنَبُ, تُعْطِيْنَ, تَبْنِيْنَ dan تَسْتَرْضِيْنَ.
Ketentuan bagi bentuk amar-nya bila di-isnad-kan kepada
dhamir
Bentuk ‘amar
sama dengan bentuk mudhari’ yang di-jazm-kan. Menurut asalnya lam
fi’il naqish dibuang bila dalam sighat amar, karena
bentuk amar-nya adalah membuang huruf ‘illat. Akan tetapi billa
di-isnad-kan kepada dhamir, maka lam fi’il-nya dikembalikan lagi
ke asalnya.
Kemudian
bila di-isnad-kan kepada nun niswah atau alif itsnain
maka lam-nya selamat dari i’lal, jika ternyata lam-nya adalah ya
atau wawu. Tetapi jika ternyata alif, maka harus diganti menjadi ya;
unutk itu katakanlah seperti berikut اُعْزُوْنَ,
اُدْعُوْنَ, اِخْشَيْنَ, اِرْضَيْنَ,
نَادِيْنَ, اِسْتَدْعِيْنَ, أعْطِيْنَ, أسْرِيْنَ, أرْميْنَ, تَدَاعَيْنَ,
تَزَكَّيْنَ, يََانِسْوَةُ اُسْرُوْنَ,dan
تَنَاجَيْنَ
. Katakan pula seperti berikut: يَامُحَمَّدَانِ,
تَدَاعَيَا, تَزَكَّيَا, اِخْشَيَا, اِرْضَيَا, نَادِيَا, اِسْتَدْعِيَا,
أعْطِيَا, اِسْرِيَا, اِرْمِيَا, اُعْزُوَا, اُدْعُوَا, اُسْرُوَا .
Apabila
di-isnad-kan kepada wawu jama’ah atau ya mukhatabah,
maka harus membuang lam-nya secara mutlak, tanpa memandang apakah berupa
wawu, ya atau alif. Selanjutnya huruf sebelum alif
dalam dua tempat tersebut tetap di-fathah-kan, sedangkan selainnya (yakni
sebelum wawu atau ya) di-kasrah-kan bila sebelum ya mukhatabah,
dan di-dhammah-kan bila sebelum wawu jama’ah. Untuk itu katakan
seperti berikut أُعْطُوْا, اُرْمُوْا, اعْزُوْا,
اُسْرُوْا, تَزَكُّوْا, اِخْشَوْا, اِرْضَوْا dan اِسْتَدْعُوْا . dan katakan pula seperti berikut أعْطِى,
اَسْرِى, تَزَكَّيْ, اِخْشَيْ, اِرْضَيْ dan اِسْتَدْعِى .
DAFTAR
PUSTAKA
-
Akar, Nafisah. 1993. Mu’jam
Mufasshol fi Ilmi Shorfi. Libanon: Darul Kutub Ilmiah.
-
Ibnu ‘Aqil, Bahaudin bin
Abdullah. 1992. Alfiyah Syarah Ibnu
‘Aqil. Bandung: Sinar Baru.
No comments:
Post a Comment