BAB
I
PENDAHULUAN
Kata Daulah berasal dari bahasa Arab.
Dalam bahasa Indonesia
kata atau kalimat Daulah mempunyai arti Negara. Attabik Ali, dalam kamusnya
menyebutkan Daulah adalah negara, bangsa dan pemerintahan. Dalam bahasa Inggris
Daulah adalah nation dan juga dapat diartikan dengan pemerintahan suatu negara.
Daulah Abbasiyah adalah salah satu Daulah
Islam yang membawa Islam dan masyarakatnya kepada masa kejayaan. Daulah
Abbasiyah ini merupakan Daulah Islam sangat maju, ini dapat kita lihat pada
kurun waktu yang cukup lama.
Daulah Abbasiyah adalah kelanjutan Daulah
Umayyah. Daulah ini cukup lama memimpin dunia Islam. Para
sarjana membagi masa Abbasiyah ini dalam beberapa periode, mulai dari
berdirinya sampai keruntuhannya.
Dalam makalah ini akan dibahas segi
pertumbuhan dan perkembangan Islam pada masa Bani Abbasiyah. Pada masa ini
Islam mengalami berbagai kemajuan dalam berbagai bidang, baik itu ilmu
pengetahuan dan peradaban yang tinggi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Berdirinya Daulah Abbasiyah
Pemerintahan Abbasiyah adalah berketurunan
dari pada al-Abbas paman Nabi SAW. pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah
al-Saffah bin Muuhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan pendiriannya
dianggap suatu kemenangan bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim
setelah kewafatan Rasulullah SAW. agar jabatan khalifah diserahkan kepada
keluarga Rasul dan sanak saudaranya.
Daulah Abbasiyah adalah Negara yang
melanjutkan kekuasaan Daulah Umayyah. Sejarah peralihan kekuasaan dari daulah
Umayyah kepada Daulah Abbasiyah bermula ketika Bani Hasyim menuntut agar
kepemimpinan Islam berada di tangan
mereka, karena mereka adalah keluarga terdekat Nabi SAW tuntutan itu sebenarnya
sudah ada sejak lama, tetapi baru menjelma menjadi gerakan ketika Bani Umayyah naik tahta dengan mengalahkan
Ali bin Thalib dan bersikap keras terhadap Bani Hasyim.
Propaganda Abbasiyah dimulai sejak Umar
bin Abdul Aziz (717-720 M) menjadi khalifah Daulah Umayyah. Umar memimpin
dengan adil. Ketentraman dan stabilitas negara memberi kesempatan kepada
gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan gerakanya yang berpusat di
al-Muhaymah. Pemimpinya waktu itu adalah Ali bin Abdullah bin abbas, seorang
zahid. Dia kemudian digantikan oleh anaknya, Muhammad, yang memperluas gerakan.
Dia menetapkan tiga kota
sebagai pusat gerakan.
Yaitu al-Humayah sebagai pusat perencanaan
dan organisasi, Kufah sebagai kota
penghubung, dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad wafat pada
125H/743 M dan digantikan anaknya. Abrahim al-Imam. Sebagai panglima perang,
dipilih seorang kuat dari Khurasan yang bernama ‘Abu Muslim al Khurasani. Abu
Muslim berhasil merebut Khurasan dan kemudian menyusul kemenangan demi
kemenagan. Pada awal 132H/749 M Ibrahim al-Imam tertangkap oleh pemerintahan Daulah
Umayah dan dipenjarakan sampai meninggal. Dia digantikan oleh saudaranya, Abu
Abbas. Tidak lama setelah itu dua bala tentara, Abbasiyah dan Umawiyah,
bertempur di dekat sungai zab bagian hulu. Dalam pertampuran itu Bani Abbas
mendapat kemenangan, dan bala tentaranya terus menuju ke kota
Syam (suriah); disini kota demi kota dapat dikuasainya.
Tahun kemudian (132H/ 750 M) itu dijadikan
tahun awal berdirinya Daulah Abbasiyah. Khalifah pertamanya adalah Abu Abbas
as-Saffah. Daulah ini berlangsung sampai tahun 656H/ 1258 M. masa yang panjang
itu dilaluinya dengan pola pemerintahan yang berubah-ubah sesuai perubahan
politik, sosial, budaya dan penguasa. Berdasarkan perbedaan pola dan perubahan
politik itu, para sejarawan membagi masa yang dilalui Daulah Abbasiyah dalam lima periode.
1. Periode pertama (132- H/750
M-232 H/847 M). Walaupun Abu Abbas adalah pendiri pertama daulah ini.
Pemerintahannya hanya singkat (750-754). Pembina daulah ini adalah Abu Ja’far
al-Mansur. Dia dengan keras menghadapi lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij,
dan juga Syi’ah yang merasa di kucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan
kekuasaannya, ia menyingkirkian satu persatu tokoh besar sezamannya yang
mungkin menjadi pesaing baginya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya
adalah pamannya sendiri yang telah ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah
sebelumnya di Suriyah dan Mesir, akhirnya terbunuh di tangan Abu Muslim
al-Khurasani karena tidak bersedia membaitnya. Abu Muslim sendiri, karena
dikawatirkan akan menjadi pesaing baginya, akhirnya dihukum mati oleh khalifah pada 755.
Untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur kemudian memindahkan ibukota
dari al-Hasyimiyah, dekat Kufah, ke kota yang
baru dibangunnya, Baghdad.
Pada tahun 767 disana ia menertibkan pemerintahannya dengan mengangkat aparat
yang duduk dalam lembaga esksekutif dan yudikatif. Dalam lembaga eksekutif dia
mengangkat wazir (menteri) sebagai koordinator departemen; dia juga mengangkat
lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping
mengembangkan angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman
sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada
sejak masa Bani Umayah dilanjutkan
dengan tambahan bagus, yakni selain untuk mengantar surat, juga untuk menghimpun seluruh
informasi di daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berlangsung dengan
lancar. Para direktur jawatan pos juga
bertugas melaporkan kegiatan gubernur setempat kepada khalifah.
Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian
fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50
tahun berada di tangan keluarga Baramikah atau Barmak. Suatu keluarga yang
terpandang yang berasal dari Balkh, Persia(Iran). Wazir pertama adalah Khalid
bin Barmak, yang kemudian digantikan anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir
ini kemudian mengangkat salah seorang anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir
muda.
PENGUASA
ABBASIYAH
NAMA BERKUASA
TAHUN
BANI ABBAS
1.
Abu Abbas as-Saffah 132 H/750
M-137 H/754 M
2.
Abu Ja’far al-Mansur 137 H/754
M-159 H/775 M
3.
al-Mahdi 159
H/775 M-169 H/785 M
4.
al-Hadi 169
H/785 M-170 H/786 M
5.
Harun al-Rasyid 170
H/786 M-194 H/809 M
6.
al-Amin 194
H/809 M-198 H/813 M
7.
al-Ma’mun 198
H/813 M-218 H/833 M
8.
al-Mu’tasim 218
H/833 M-228 H/842 M
9.
al-Wasiq 228
H/842 M-232 H/847 M
10.
al-Mutawakkil 232
H/847 M-247 H/861 M
11.
al-Muntasir 247
H/861 M-248 H/862 M
12.
al-Musta’in 248
H/862 M-252 H/866 M
13.
al-Mu’taz 252
H/866 M-256 H/869 M
14.
al-Muhtadi 256
H/869 M-257 H/870 M
15.
al-Mu’tamid 257
H/870 M-279 H/892 M
16.
al-Mu’tadid 279
H/892 M-290 H/902 M
17.
al-Muktafi 290
H/902 M-296 H/908 M
18.
al-Muqtadir 296
H/908 M-320 H/932 M
BANI BUWAIHI
19.
al-Qahir 320
H/932 M-323 H 924 M
20.
ar-Radi 323
H/924 M-329 H/940 M
21.
al-Muttaqi 329
H/940 M-333 H/944 M
22.
al-Muktakfi 333
H/944 M-335 H/946 M
23.
al-Muti 335
H/946 M-364 H/974 M
24.
al-Ta’i 364
H/974 M-381 H/991 M
25.
al-Qadir 381
H/991 M-423 H/1031 M
26.
al-Qa’im 423
H/1031 M-468 H/1075 M
BANI SELJUK
27.
al-Muqtadi 468
H/1075 M-487 H/1094 M
28.
al-Mustazir 487
H/1094 M-512 H/1118 M
29.
al-Mustarshid 512
H/1118 M-530 H/1135 M
30.
ar-Rasyid 530
H/1135 M-531 H/1136 M
31.
al- Muqtafi 531
H/1136 M-555 H/1160 M
32.
al-Mustanjid 555
H/1160 M-566 H/1170 M
33.
al-Mustadi 566
H/1170 M-576 H/1180 M
34.
an-Nasir 576
H/1180 M-622 H/1225 M
35.
az-Zahir 622
H/1225 M-623 H/1226 M
36.
al- Mustansir 623
H/1226 M-640 H/1242 M
37.
al-Musta’sim 640
H/1242 M-656 H/1258 M
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah
Abbasiyah ini telah diletakan dan dibangun oleh Abu Abbas as-Saffah dan Abu
Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, mulai dari khalifah al-Mahdi (775-785). Puncak popularitas daulah
ini berada pada zaman khalifai Harun ar-Rasyid (786-809) dan putranya al-Ma’mun
(813-833).
2. Periode kedua 232-847 M-334
H/945 M). Pilihan khalifah al-Must’in terhadap unsur Turki dala ketentaraan
terutama dilatarbelakangi adanya persaingan antara golonganArab dan Persia pada
masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Al-Musta’in dan khalifah sesudahnya, al-Wasiq,
mampu mengendalikan mereka. Akan tetapi khalifah al-Mutawakkil yang merupakan
awal dari periode ini adalah seorang khalifah yang lemah. Pada masanya orang
Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah al-Mutawakkil wafat.
Merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah sesuai dengan kehendak mereka.
Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan bani Abbas, meskipun
mereka menjabat sebagai khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk lepas dari tentara
Turki itu, tetapi usaha itu selalu gagal. Pada 892, Baghdad kembali menjadi ibukota. Kehidupan
Intelektual terus berkembang.
Setelah orang Turki mulai melemah karena
ada persaingan diantara mereka sendiri, khalifah ar-Radi menyerahkan
kekhalifahan kekuasaan kepada Muhammad bin Ra’iq, gubernur Wasith dan Bashrah.
Khalifah memberinya gelar “Amirul Umara” (panglima dari para panglima).
Namun demikian, keadaan Bani Abbas tidak lebih baik. Dari dua belas khalifah
pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, kalau bukan
dibunuh, mereka diturunkan dari tahta dengan paksa.
Pada periode ini memang ada beberapa
pemberontakan, seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak Selatan dan
pemberontakan Qaramitahyang berpusat di Bahrain, tetapi bukan itu penyebab
gagalnya mereka mewujudka kesatuan politikDaulah Abbasiyah. Faktor penting
penyebab kemunduran Bani Abbaspada periode ini adalah sebagai berikut. a)
luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara
komonikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan
para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah. b) dengan
propesionalisasi tentara, ketergantungan
dengan merekamenjadi sangat tinggi. c) kesulitan keuangan karena beban
pembiayaan tentara sangat besar. Setelah
kekuasaan militer merosot, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (334 H/945 M-447
H/1055 M). Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan
Buwaihi. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama
karena Bani Buwaihi adalah penganut
aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintahkan dan
diberi gaji. Bani Buwaihi membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara: Ali
untuk wilayah bagian selatan negeri Persia,
Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian,
Baghdad pada
periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahan Islam karena telah pindah
ke Syiraz tempat memerintahnya Ali bin Buwaihi, yang memiliki kekuasaan Bani
Buwaihi. Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah
terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa ini muncul para pemikir
besar seperti al-Farabi (870-950). Ibnu Sina (980-1013) al-Biruni (973-1048).
Ibnu Maskawai (930-1030). Dan kelompok studi Ikhwan as-Safa. Bidang ekonomi,
pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan yang dsiikuti dengan
pembangunan Kanal Mesjid dan rumah sakit.
Pada masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghda
telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlisunnah dan Syi’ah.
Pemberontakan tentara, dan sebaginya.
4. Periode Keempat (447 H/1055
M-590 H/1199 H). Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Saljuk atas
Daulah Abbasiyah. Kehadirahn Bani Saljuk ini adalah atas “undangan” khalifah
untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang
membaik. Paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah
beberapa lama dikuasai orang Syi’ah.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu
pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri
pada masa Alp Arslan dan Malik Syah, mendirikan Madrasah Nizammiyah (1067) dan
Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan
hamper pada setiap kota
di Irak dan di Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi di
kemudian hari. Dari madrasah ini lahir banyak cendekiawan dalam berbagai
disiplin ilmu. Diantara cedekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada
periode ini adalah az-Zamakhsary, penulis dalam bidang tafsir dan ushuluddin
(teologi), al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Gazali dalam bidang ilmu kalam
dan tasauf, dan Umar Hayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan
tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan
menjadi beberapa provinsi dengan seorang gubernur untuk mengepalai
masing-masing provinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah,
masing-masing provinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan
peperangan yang terjadi diantara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit
demi sedikit kekuasaan politik khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri
Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan KhawarizmSyah pada
590 H/1199 M.
5. Periode Kelima (590 H/1199 M-655
H/1258 M). Pada periode ini khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah
kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya.
Sempitnya wilayah kekuasaan khal;ifah menunju8kan kelemahan politiknya. Pada
masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurluluhkan Bahgdad tanpa
perlahan pada 656 H/1258 M.
Faktor Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan
kemudian hancur dapat dikelompokan menjadi kelompok Intern dan faktor esktern.
Diantara factor Intern adalah (a) adanya persaingan tidak sehat antara beberapa
bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia, Dan Turki;
(b) adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang menyebabkan timbulnya
konflik berdarah. (c) munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri
dari kekuasaan pusat di Baghdad; dan (d) kemerosotan ekonomi akibat kemunduran
politik. Adapun ekstern, antaralain : (a) perang salib yang terjadi dalam
beberapa gelombang dan (b) hadirnya tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan
dan meguasai kota Baghdad. Yang terakhir inilah yang secara
langsung menyebabkan hancurnya Daulah Abbbasiyah.[1]
B. Sistem Pemerintahan Abbasiyah
Pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah
bertumpu pada banyak sistem yang pernah dipraktikkan oleh bangsa-bangsa
sebelumnya, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Dasar-dasar pemerintahan
Abbasiyah diletakkan oleh Khalifah kedua, Abu Ja’far al-Mansur yang dikenal
sebagai pembangun Khilafah tersebut. Sedangkan sebagai pendiri ialah Abdul
Abbas as-Saffah. Dukungan dan sumbangan bangsa Persia
kentara sekali ketika Abbasiyah berdiri dengan munculnya Abu Muslim
al-Khurasani, dan memang wilayah operasional bangsa ini berada di bekas
keruntuhan kerajaan Persia.
Kebangkitan orang-orang Persia
itu antara lain juga karena sudah bosannya mereka terhadap kebijaksanaan
pemerintahan Umayyah yang diskriminatif terhadap bangsa non-Arab yang
menjadikan mereka warga kelas dua yang disebut dengan kaum Mawalli.
Maka, tidak mengherankan bila kekhalifahan Abbasiyah mengambil nilai-nilai
dalam sistem pemerintahannya.
Bangsa Persia mempercayai adanya hak agung
raja-raja yang didapat dari Tuhan. Oleh karena itu para khalifah Abbasiyah
memperoleh kekuasaan untuk mengatur Negara langsung dari Allah, bukan dengan
rakyat, yang berbeda dengan sistem kekhalifahan yang diterapkan oleh
Khulafaurrasyidin yang dipilih oleh rakyat. Kekuasaan mereka tertinggi
diletakkan pada ulama, sehingga pemerintahannya merupakan sistem teokrasi.
Khalifah bukan saja berkuasa dibidang pemerintahan duniawi tetapi mereka juga
berhak memimpin agama yang mendasarkan pemerintahannya pada agama. Abbasiyah
memprotes Umayyah yang mementingkan kemegahan duniawi. Dinasti baru tersebut
juga ingin mempertahankan bidang keagamaan, dan menggunakan simbol-simbol yang
dianggap suci bagi mereka dengan menyertakan mantel dan tongkat Nabi ketika
dilaksanakan pelantikan khalifah dan upcara-upacara keagamaan. Khalifah
Abbasiyah juga menggunakan gelar Imam untuk menunjukkan aspek keagamaannya.
Gelar itu telah lama dipakai kelompok Syiah. Dalam hal pengangkatan putra
mahkota, Abbasiyah meniru sistem yang dilaksanakan oleh Umayyah, yakni
menetapkan dua orang putra mahkota sebagai pengganti pendahulunya.[2]
C. Masa Kejayaan Daulah Abbasiyah
Kejayaan daulah Bani Abbasiyah terjadi
pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid (170-193 H/78-809 M) dan anaknya, al-Makmun
(198-218 H/813-833 M). ketika ar-Rasyid memerintah, Negara dalam keadaan
makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walau ada juga pemberontakan, dan
luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India. Pada masanya hidup pula para
filosof, pujangga, ahli baca al-Quran dan para ulama di bidang agama. Didirikan
pula perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang
dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Khalifah harun ar-Rasyid sebagai orang
yang taat beragama, menunaikan ibadah haji setiap tahun yang diikuti oleh
keluarga dan pejabat-pejabatnya serta para ulama, dan berderma kepada fakir
miskin.
Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan,
baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu
al-Quran, qira’at, hadis, fiqih, kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqih
tumbuh berkembangpada masa Abbasiyah ini. Imam Abu Hanifah yang meniggal di Bagdad tahun 150/677 adalah pendiri mazhab Hanafi. Imam
Malik ibn Anas yang banyak menulis hadis dan pendiri mazhab Maliki itu wafat di
Madinah tahun 179/795. Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i yang meninggal di Mesir
tahun 204/819 adalah pendiri mazhab Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal pendiri
mazhab Hanbali meniggal dunia tahun 241/855. disamping itu berkembang pula ilmu
filsafat, logika, matematika, metafisika, alam, geometri, aljabar, aritmatika,
mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia. Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam
Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia
ke dalam bahasa Arab, disamping dari bahasa India. Dalam masa pemerintahan
al-Makmun pengaruh Yunani sangat kuat. Di antara para penterjemah yang masyhur
saat itu adalah Hanun ibn Ishak, seorang Kristen Nestorian yang banyak
menterjemahkan buku-buku berbahasa Yunani ke bahasa Arab. Ia terjemahkan kitab Republik
dari Plato, dan kitab Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles.
India
juga mengilhami perkembangan filasafat, kesusasteraan dan ilmu pasti dalam
Islam. Al-Khawarizmi (wafat kira-kira 850 M) menyusun ringkasan astronomi
berdasarkan ilmu Yunani dan India.
Penulisan sejarah berkembang pada saat itu, diantara para penulis sejarah ialah
Ibnu Ishak, Ibn Hisyam dan at-Tabari, al-Maqrizi dan lain-lain. Ilmu bumi
memudahkan perjalanan kaum Muslimin ke penjuru dunia, antara lain ke India,
Srilangka, dan Melayu.
Khalifah Harun merupakan penguasa yang
paling kuat di dunia pada saat itu, tidak ada yang menyamainya dalam hal
keluasan wilayah yang diperintahnya, dan kekuatan pemerintahannya serta
ketinggian kebudayaan dan peradaban yang berkembang di negaranya. Khalifah
harun berada pada tingkat yang lebih tinggi peradabannya dan lebih besar kekuasaannya
bila dibandingkan dengan Karel Agung di Eropa yang menjalin persahabatan
dengannya karena motif saling memanfaatkan. Harun bersahabat dengan Karel untuk
menghadapi Daulah Umayyah di Andalusia, sementara Karel berkepentingan dengan
Khalifah yang tersohor itu untuk menghadapi Byzantium. Bagdad sebagai ibu kota Abbasiyah tidak ada bandingannya ketika itu, walau
dengan Konstantinopel sebagai ibu kota Byzantium sekalipun.
Dalam masa itu berkumpul para seniman di
Bagdad seperti Abu Nawas, salah seorang penyair yang terkenal, dan dihasilkan pula
banyak karya seni sastra yang indah seperti Alf lailah wa lailah “Seribu
Satu Malam”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Arabian
Night. Pelabuhan-pelabuhan Abbasiyah disinggahi oleh kapal-kapal dari
seluruh prnjuru dunia, seperti junjung dari Cina, yang membawa barang
dagangannya (porselen, sutera dan minyak kesturi), kapal-kapal dari India dan
Nusantara yang membawa barang-barang tambang, rempah-rempah dan cat, sedangkan
batu manikin, lazuardi dan budak datang dari Turki di Asia Tengah. Madu, lilin,
kulit dan budak kulit putih datang dari Skandinavia dan Rusia, sementara itu
gading, emas-bubuk dan budak kulit hitan datang dari Afrika Timur. Dari
Bandar-bandar itu diekspor barang-barang hasil industri, perhiasan, kaca-logam,
mutiara-gelas dan rempah-rempah ke Timur Jauh, Afrika dan Eropa.
Bagdad sebagai ibu kota
kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh Khalifah al-Mansur mencapai puncak
kejayaannya dimasa ar-Rasyid walau kota
itu belum limapuluh tahun dibangun. Kemegahan dan kemakmuran tercermin dalam
istana Khalifah yang luasnya sepertiga dari kota
Bagdad yang bundar itu dengan dilengkapi
bangunan-bangunan sayap dan ruang audensi yang dipenuhi berbagai perlengkapan
yang terindah. Kemewahan istana itu muncul terutama dalam upacara-upacara
penobatan Khalifah, perkawinan, keberangkatan haji, dan jamuan untuk para duta
Negara asing. Perkawinan al-Makmun, putra ar-Rasyid, dengan Buran, anak seorang
wazirnya, al-Hasan ibn Sahal, tahun 825, merupakan pesta pora yang sangat
meriah sehingga dapat dikatakan pemborosan yang besar. Betapa tidak, seribu
butir mutiara yang besar-besar yang terletak di atas baki emas ditaburkan ke
arah mempelai berdua yang berdiri di atas hamparan tikar yang dihiasi dengan
mutiara dan batu nilam. Banyak hadiah yang berupa tanah, hamba sahaya dan
barang berharga lainnya diberikan kepada keluarga Khalifah dan para pejabat
tinggi Negara, dan masih banyak contoh lain.
D. Masa Kemunduran dan Kejauhan Abbasiyah
Sebagaimana dijelaskan hanya pada periode
pertama pemerintahan bani Abbas mencapai masa keemasannya. Setelah itu
pemerintahan dinasti Abbas mulai menurun dan mengalami kemunduran. Diantara
sebab-sebab kemunduran itu adalah hidup mewah yang terjadi pada para khalifah
Abbas dan keluarganya serta para pejabatnya karena harta kekuasaan yang
melimpah dari hasil wilayah yang luas. Ditambah lagi dengan industri olahan
yang melimpah dan tanah yang subur serta pendapatan pajak dari
pelabuhan-pelabuhan yang menghubungkan antara dunia barat dan timur. Kondisi
tersebut diperburuk oleh lemahnya para khalifah, sehingga mereka berada di
bawah pengaruh para pengawalnya yang menguasai keadaan yang terdiri dari
orang-orang Turki. Disamping itu adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri
terhadap pemerintahan pusat, Bagdad. Bahkan
dinasti-dinasti seperti bani Umayah di Spanyol dan Fatimiyah di Afrika Utara
dan Mesir menjadi saingan Abbas.[3] Selain
itu juga serangan-serangan yang dilakukan oleh pasukan salib ke Palestina yang
berjalan begitu lama dengan jatuh dan bangunnya pasukan Muslimin memperlemah
kekuasaan bani Abbas juga. Selain itu juga banyak faktor-faktor yang lain yang
menyebabkan dinasti Abbas menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling
berkaitan antara satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
-
Persaingan antar agama
-
Kemerosotan ekonomi
-
Konflik keagamaan
-
Ancaman dari luar
Akhir dari kekuasaan Abbas adalah ketika
Bagdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulaku Khan, 658
H/1258 M. Ia adalah seorang saudara Qubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga
Asia Tenggara, dan saudara Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan
wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina itu kepangkuannya lagi. Bagdad dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah.
Khalifah bani Abbas yang terakhir dan keluarganya, al-Musta’in dibunuh,
buku-buku di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris
sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam
kelam karena lenturan tinta yang ada pada buku-buku itu.[4]
E. Peradaban Pada Masa Daulah Abbasiyah
Dengan kebangkitan Dinasti Abbasiyah ke panggung kekuasaan pada 750, sejarah Islam memasuki
fase baru. Sejak masa ini berakhirlah
riwayat entitas politik Islam yang didominasi oleh golongan aristokrasi
Arab. Sebaliknya, sejak periode ini pula kaum muslim Arab dan non-Arab
bergandengan tangan. tidak hanya dalam
menegakkan entitas politik Islam, tetapi juga membangun dan mengembangkan peradaban Islam. Para khalifah Dinasti Abbasiyah sendiri berusaha
membangun suatu entitas politik Islam universal
berdasarkan prinsip kesetaraan antara kaum muslim Arab dan non-Arab.
Dalam kaitan itulah pada masa Dinasti
Abbasiyah banyak kalangan mawali mulai memasuki
angkatan bersenjata dan pemerintahan, sehingga mencapai kedudukan penting,
seperti panglima dan wazir (perdana menteri). Terdapat pula di antara
mereka yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada pengembangan berbagai cabang
keilmuan, sehingga mencapai tingkat ulama dan pemikir terkemuka. Dengan begitu, kaum mawali mempunyai
peranan penting dalam memajukan peradaban Islam.
Karakter utama tatanan sosial-politik
Abbasiyah adalah kosmopolitanisme. Sifat ini berkaitan
erat dengan asal-usul kebangkitan Dinasti Abbasiyah itu sendiri ke
singgasana kekuasaan. Revolusi Abbasiyah
selalu menekankan semangat
universalisme, yang pada gilirannya mengejawantah di dalam tatanan sosial
politik yang tumbuh dan berkembang seusai revolusi. Golongan aristokrat
militer Arab yang dominan pada masa Dinasti Umayyah kini digantikan oleh
kelompok aristokrat baru yang merupakan semacam
gabungan kalangan Arab dan non-Arab,
khususnya orang Persia.
Diskriminasi sosial dalam batas
tertentu masih ada, tetapi tidak lagi berdasarkan asal-usul etnisitas Selain itu. kekayaan. kekuasaan dan kedudukan
sosial tidak lagi didominasi golongan Arab, karena kalangan non-Arab juga mulai merambah ke dalam bidang-bidang
ini. Hasilnya, kaum aristokrat lama pribumi kini diterima golongan Arab ke
dalam kemitraan sepenuhnya. Perbedaan atau gap
antara para penakluk dan yang
ditaklukkan juga semakin menghilang.
Selanjutnya, golongan aristokrasi yang baru muncul tersebut pada hakikatnya lebih bersifat
sipil daripada militer, sebagaimana yang
terdapat pada masa Dinasti Umayyah. Kosmopolitanisme
Abbasiyah terlihat lebih jelas dalam
peranan yang dimainkan orang Persia. Mereka adalah kelompok
non-Arab yang paling dominan bahkan sejak
saat dimulainya Revolusi Abbasiyah. Oleh karena itu, tidak mengherankan
kalau setelah Dinasti Abbasiyah terbentuk,
orang Persia
merupakan lapisan yang paling banyak di dalam angkatan bersenjata dan
birokrasi. Orang Persia
juga berperanan penting dalam perkembangan aspek budaya dan peradaban Islam.
Pada
pihak lain, golongan Arab tetap merupakan unsur yang khas dalam masyarakat
Islam, tidak hanya pada masa awal Dinasti Abbasiyah, tetapi juga sampai waktu-waktu lebih akhir. Meskipun kebanyakan
aristokrasi Arab yang asli semakin terasimilasi
ke dalam masyarakat lokal, terutama
di wilayah sekitar pusat kekuasaan Abbasiyah, kabilah dan kelompok
masyarakat Arab tertentu tetap
mempertahankan kemurnian kearaban mereka.
Penggolongan kelompok Arab dan non-Arab,
khususnya Persia,
dalam Dinasti Abbasiyah jelas tidak perlu dibesar-besarkan. sebab pada saat yang sama kedua kelompok itu
juga menjalin kerjasama yang harmonis dalam suasana kosmopolitanisme Abbasiyah.
Kerjasama kedua kelompok besar ini terlihat
jelas pada tradisi Dinasti Abbasiyah itu sendiri. Khalifah yang merupakan
keturunan keluarga Nabi Muhammad SAW yakni
Bani Hasyim. secara kokoh
mempertahankan identitas Arabnya. Para
khalifah Abbasiyah di masa awal dinasti mendidik anak-anak mereka bukan hanya
tentang Islam, tetapi juga mengenai sastra dan tradisi Arab. Para
khalifah setelah Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) yang mempunyai ibu non-Arab
tetap mempertahankan identitas Arab mereka melalui garis ayah. Lebih jauh, khalifah Abbasiyah lebih senang memiliki pengawal
dan pengiring keturunan bangsawan Arab. Orang Arab juga merupakan bagian
terbesar angkatan bersenjata Abbasiyah awal. meskipun kemudian mereka lebih
banyak menjadi militer cadangan. Dengan cara seperti ini para khalifah
Abbasiyah mempertahankan warna Arab dalam penampilan dinasti mereka.
Tradisi politik yang dikembangkan Dinasti Abbasiyah ini berbeda jauh dengan tradisi politik
Islam pada masa sebelumnya. Khalifah pertama
(al-Khulafa' ar-Rasyidun) di Madinah menerapkan tradisi politik
yang sederhana. sesuai dengan tradisi dan
kebudayaan Arab yang serba bersahaja. Para
khalifah ini tidak mempertahankan jarak dengan warga Negara; bahkan akses untuk
menemui mereka secara langsung sangat mudah dan terbuka. Mengikuti contoh Nabi Muhammad SAW, mereka
mengambil keputusan-keputusan setelah
bermusyawarah secara hati-hati dan seksama dengan anggota terkemuka umat.
Strata
sosial perkotaan Abbasiyah: 1) golongan elit (khassah): aristocrat,
bangsawan (a’yân), dan penguasa (amîr). 2) golongan orang
kebanyakan (âmmah): sebagian besar warganegara, termasuk orang kaya.
KEMAKMURAN EKONOMI: BASIS PERADABAN ISLAM
Perluasan
wilayah kekuasaan Islam, selain menimbulkan perubahan penting dalam kehidupan sosial-politik, seperti dikemukakan di atas, juga menimbulkan perubahan mendasar
dalam kehidupan ekonomi. Konsolidasi kekuasaan kaum muslim di dalam satu kekuasaan kekhalifahan telah menggerakkan perubahan besar tidak hanya dalam kehidupan ekonomi di wilayah kekuasaan
Islam, tetapi juga menimbulkan perubahan
penting dalam pertanian, usaha komersial, dan perdagangan Internasional
Terwujudnya
kekuasaan kekhalifahan tunggal, lebih jauh lagi, memungkinkan
transformasi wilayah amat luas, yang terbentang
dari perbatasan Cina dan Lautan Hindia di sebelah timur sampai ke
pesisir Lautan Atlantik di sebelah barat,
menjadi satu unit ekonomi raksasa yang tunggal. Manfaat yang diperoleh dari kenyataan ini amat luar
biasa. Terdapat setidak-tidaknya tiga konsekuensi ekonomis dari
kenyataan ini: Pertama. komoditas yang diproduksi di satu tempat tertentu dapat tersedia di tempat lain sehingga mendorong terciptanya keseragaman barang (consumergoods) di antara orang yang berada dalam wilayah yang begitu luas; Kedua,
pusat kekuasaan muslim yang terletak di Timur Tengah memungkinkan
terjadinya penyebaran inovasi teknologi ke tempat lain yang jauh; dan ketiga, terjadinya kemajuan transportasi,
navigasi teknis serta terapannya, pembuatan
kapal, dan kartografi serta geografi.
Sebagaimana diisyaratkan di atas, industri
yang paling sukses berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah penenunan tekstil yang
mencakup produksi kain, bahan pakaian, dan
karpet. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam industri adalah kapas, sutera, dan wol. Semua bahan ini terdapat dalam
jumlah yang melimpah di berbagai wilayah
kekuasaan Islam. Industri lain yang juga
berkembang pesat adalah barang pecah-belah, keramik, dan parfum. Juga berkembang
industri kertas yang diambil alih dari Cina
sejak masa awal Dinasti Abbasiyah.
Adalah
Dinasti Abbasiyah yang memperoleh
paling banyak manfaat dari perkembangan
ekonomi yang terjadi setelah ekspansi kekuasaan kaum muslim. Selesainya perluasan kekuasaan muslim di Timur Tengah secara
relatif mendatangkan manfaat besar di bidang
ekonomi yang sepenuhnya hanya bisa diwujudkan
setelah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Yang terpenting adalah bahwa perluasan kekuasaan mendatangkan kemakmuran bagi perbendaharaan negara (baitulmal). Pada masa sebelumnya. kekayaan ini pada umumnya dikuasai kaum aristokrat dan tuan tanah. Dengan penguasaan kekayaan oleh negara, maka dimungkinkanlah
terjadinya sirkulasi kekayaan dan dengan demikian, kemakmuran secara lebih
merata.
Dengan
kemakmuran perbendaharaan negara,
maka kekhalifahan mampu mernbayar tentara dan pegawai sipil dengan baik;
mereka juga menerima pensiun yang rata-rata
besarnya dua kali lipat dari penghasilan perajin yang ahli. Sebagian
gaji dan pensiun itu kemudian diinvestasikan dalam
usaha kerajinan dan perdagangan. Sehingga menciptakan semacam kerjasama ekonomi antara pegawai negeri dan kaum wiraswasta. Pola ini pada gilirannya berperan penting dalam mendorong
kemajuan industri dan perdagangan.
Industri
dan perdagangan di masa Abbasiyah
sebagian besar berada di tangan pemerintah, seperti produksi senjata, kertas, dan pembuatan bahan kain mewah. Industri lain
pada prinsipnya
bebas. Namun demikian, ada komoditas
yang harus disuplai oleh produser kepada
pemerintah dan karenanya terikat kepada ketentuan pemerintah.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Kejayaan daulah Bani Abbasiyah terjadi
pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid (170-193 H/78-809 M) dan anaknya, al-Makmun
(198-218 H/813-833 M). ketika ar-Rasyid memerintah, Negara dalam keadaan
makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walau ada juga pemberontakan, dan
luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India.
Sebab-sebab kemunduran Abbasiyah adalah
hidup mewah yang terjadi pada para khalifah Abbas dan keluarganya serta para
pejabatnya karena harta kekuasaan yang melimpah dari hasil wilayah yang luas.
Faktor-faktor yang lain yang menyebabkan
dinasti Abbas menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan
antara satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
-
Persaingan antar agama
-
Kemerosotan ekonomi
-
Konflik keagamaan
-
Ancaman dari luar
Industri
dan perdagangan di masa Abbasiyah
sebagian besar berada di tangan pemerintah, seperti produksi senjata, kertas, dan pembuatan bahan kain mewah. Industri lain
pada prinsipnya
bebas. Namun demikian, ada komoditas
yang harus disuplai oleh produser kepada
pemerintah dan karenanya terikat kepada ketentuan pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Yatim, Badri. 1993. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
-
Mufrodi, Ali. 1997. Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta:
LOGOS
[1] Ensiklopedi
Islam, Jilid I, Jakarta:
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005. h. 6-9
[2] Dr. Ali Mufradi, Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta:
Logos, 1997. h. 102-103
[3] Dr. Badri Yatim, M.A.
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1993. h. 49-60, 102-104
[4] Dr. Ali Mufradi,. op.cit.
h.